Martha merapatkan jaket yang dikenakannya. Walaupun Bayu, yang memboncengnya, membentengi tubuhnya, terpaan angin masih terasa mengigit. Selama beberapa menit berkendara, Martha berusaha menikmati udara segar, menenangkan benaknya yang sibuk menerka.
Lagi-lagi Bayu diam. Setelah memarkir motor, ia hanya memberi Martha kode untuk mengikutinya. Tak sempat bertanya, Martha hanya berfokus membuntuti Bayu yang berjalan cepat. Ia setengah berlari agar tak kehilangan jejak Bayu. Tubuhnya menegang ketika menyusuri jalan setapak dengan pohon-pohon lebat di kanan-kirinya.
Hingga akhirnya Martha mendengar suara air tercurah deras. Aroma lembap serupa petrikor memenuhi rongga dadanya. Bising, tapi menenangkan. Martha terpaku, memandangi air yang tercurah tanpa henti dari bukit batu yang tinggi.
Bayu sudah mendahuluinya mendekat ke air terjun, berdiri tepat di belakang pagar pembatas kayu. Laki-laki itu seperti tak gentar menghadapi derasnya air, seakan sudah karib dengan tumpahan itu. Tiba-tiba ia berbalik, menatap Martha dengan senyum tertahan.
"Ayo," ajak Bayu. Laki-laki itu turun dengan cekatan lalu mengulurkan tangan, menawarkan bantuan agar Martha tak tergelincir. Bukannya mendekat ke air terjun, Bayu malah mengarahkan Martha menjauh, menuju bebatuan besar dengan permukaan yang cukup halus dan terlihat nyaman menjadi alas beristirahat.
Mereka berdua duduk dalam diam, menikmati hangatnya mentari dan sejuknya udara, memandangi air terjun dari kejauhan. Sesekali percikan airnya ditiup angin dan menyapa ramah tubuh dan jiwa yang penat.
Titik-titik air yang mampir di wajah Martha seperti menghapus debu-debu kekhawatiran yang terakumulasi beberapa waktu ini. Kematian papanya, relasinya dengan John, deadline penyelesaian skripsi, dan ... Bayu.
"Lima tahun," ujar Bayu memecah keheningan. "Aku masih lima tahun waktu Papa pergi."
Martha tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh pada Bayu yang menatap lurus ke air terjun.
"Sejak itu ... Papa ... nggak pernah kembali." Tatapan Bayu sendu, merindu.
Martha tertegun. Bayu seperti sedang membuka jendela kecil agar Martha dapat mengintip ke dalam hatinya. Hati Martha serasa tercubit membayangkan Bayu yang bertumbuh bersama dengan hati yang remuk, menanti sesuatu yang tak kunjung tiba, dan menanggung semua luka itu sendiri. Air mata Martha menetes membayangkan berat beban yang Bayu sembunyikan dari dunia.
Beban di hatinya sudah Martha tanggalkan, kebenaran sudah memberi sedikit kelegaan padanya. Namun, bagi Bayu, mungkin kenyataan itu selalu terasa pahit.
Martha memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dari Bayu, ikut menatap air terjun. Apa mungkin mereka perlu berdiam di bawah pancurannya, untuk melepaskan segala derita, seperti yang dilakukan oleh Sang Kakek dalam legenda?
Seandainya saja air terjun deras itu bisa membasuh semua masalah pelik ini. Martha sungguh tak keberatan jika arus sungai bersedia menghanyutkan segala kesusahan hidupnya.
--
Sudah lama Bayu tidak mengunjungi air terjun ini. Terakhir kali, ia datang bersama sekelompok temannya, menjelang kelulusan SMA. Hari itu, Bayu datang untuk merayakan awal kehidupan dewasanya. Berbekal ijazah SMA, ia berencana mencari pekerjaan. Yang ada di pikirannya hanya niat meringankan beban ibunya, yang selama ini sendirian bersusah payah membesarkannya.
Bayu tahu mustahil mereka dapat hidup begitu nyaman hanya dengan pesanan tak rutin yang sesekali diterima ibunya. Hasil penjualan jajanan sederhana itu tak mungkin mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Lantas bagaimana dengan biaya sekolah Bayu atau kebutuhan tak terduga lainnya? Hidup ibunya pasti tak mudah. Entah apa yang beliau upayakan hingga Bayu dapat hidup layak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Root to Fly
RomanceHidup Martha, si perempuan Chindo Suroboyo yang galak dan keras kepala, dihantam badai tak terduga. Kematian mendadak papanya menggoyahkan dunianya. Seakan belum cukup, sebuah rahasia gelap terungkap dan mengancam seluruh sisi kehidupan Martha. Mart...