"Aku turun bentar, ya." Mobil John telah berhenti sempurna di depan rumah Martha.
Siang tadi Martha mengirim pesan, ada hal serius yang ingin dibicarakan. Namun, sejak John menjemputnya sampai mereka kembali dari makan malam, Martha bungkam. Ia pikir, Martha hanya butuh ditemani, seperti beberapa waktu belakangan ini. Dan John sama sekali tak keberatan. Ia akan berada di samping Martha, kapan pun dibutuhkan.
John sudah siap membuka pintu ketika Martha menarik tangannya. Jari-jari Martha terasa begitu dingin. John mengurungkan niat untuk turun. Ia menggenggam tangan Martha erat, membagi kehangatan. "Kenapa, Babe?"
"John..." lirih Martha.
"Ada apa?" John menyibak rambut yang menutupi sisi wajah Martha ke belakang telinganya.
"Kamu dengerin aku dulu. Kalau kamu potong, aku ... enggak yakin bisa cerita ... sampai selesai." Suara Martha bergetar. Jari-jarinya bergerak tak beraturan dalam genggaman John.
"Oke. Mau cerita apa? I'm all ears." John menghadap Martha, memberi semua perhatiannya.
Bahu John lama-kelamaan menegang, seiring dengan kalimat-kalimat panjang Martha yang mencengkeram nalarnya. Dengan menunduk dan terbata, Martha menceritakan hal-hal yang tidak pernah John sangka.
John melepas tautan tangan mereka. Rasa sesak mampir di hatinya. Pandangannya menerawang menembus kaca depan mobil. Bulan bersinar terang, tidak ada satupun awan di langit. Gumpalan kelabu itu seperti meninggalkan angkasa dan berpindah ke pikiran John.
Suara Martha sudah tidak terdengar. John menebak perempuan itu sedang menangis dalam diam.
"Jadi ... kamu mau cari Bayu ini?"
"Iya."
"Tapi, kamu enggak tahu dia ada di mana?"
"Enggak tahu."
"Enggak tahu orangnya kayak apa?"
"Enggak."
"Enggak tahu pasti apa yang kamu cari?"
"Hm."
"Terus buat apa kamu pergi?" John menatap Martha lagi.
Martha masih menunduk, tidak menjawab pertanyaan John.
"This is so not you, Babe. Kita mau ke TP, kamu udah susun rencana mau ngapain, mau ke mana, mau makan di mana. Untuk jalan-jalan aja kamu punya schedule. Sekarang mendadak kamu mau pergi tanpa ada rencana yang jelas. Bonek* banget!"
"Kamu pernah bilang, aku jadi cewek kaku banget. Sekarang aku mencoba fleksibel, kamu enggak suka?"
"Babe, bedain fleksibel dan nekat. Itu dua hal yang berbeda. Ini bukan fleksibel. I don't know how to describe it. Impulsif? Sembrono? Aku nggak setuju kamu pergi seperti ini."
"Aku enggak lagi minta izin, John. Ini ... pemberitahuan. Aku pasti pergi. I need to go. I have to go. Beberapa waktu ini aku ... enggak yakin dengan diriku. Seperti ... ada yang hilang. I feel so ... broken."
John menghela napas. Ia kembali mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Martha, mengusapnya perlahan. Ibu jarinya merasakan jejak lembap di sana. "Kamu jauh dari broken, Babe. You are perfect. My perfect Martha." John bersungguh-sungguh mengucapkan setiap kata itu. Tak pernah ia bermimpi mendapat pacar sesempurna Martha.
Bintang kelas, tidak lemot seperti Michelle, pacar pertama John. Berpendirian, tidak plin-plan seperti Rissa yang bahkan minta John memilihkan universitas dan jurusan kuliah. Martha tidak ganjen, tidak seperti Mona dan Agnes yang mengejarnya selama kuliah dulu, atau Lusy yang sering melempar kode padanya di kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Root to Fly
Storie d'amoreHidup Martha, si perempuan Chindo Suroboyo yang galak dan keras kepala, dihantam badai tak terduga. Kematian mendadak papanya menggoyahkan dunianya. Seakan belum cukup, sebuah rahasia gelap terungkap dan mengancam seluruh sisi kehidupan Martha. Mart...