23. Menerima dan Memberi

54 7 0
                                    

Setelah merapikan tumpukan kertas dan map yang ada di atas meja belajarnya, Martha menghela napas lega. Sejenak ia terdiam. Kerja kerasnya selama sebulan terakhir ini akan segera usai. Siang ini, apapun hasilnya, Martha akan menyelesaikan semua tanggung jawab perkuliahannya.

Namun, ia terkekeh ketika menyadari sidang siang nanti bukan titik akhir. Ia mengingatkan diri sendiri bahwa setelah sidang skripsi masih ada revisi yang harus dikerjakan dan surat-surat yudisium yang harus diurus.

Namun, sejujurnya, hatinya amat puas. Satu lagi batu loncatan akan ia lewati. Martha sudah berjuang selama ini dan garis akhir sudah tampak jelas di depan mata.

Ia memandangi berkas skripsi di hadapannya sambil membayangkan apa yang akan papanya katakan jika beliau masih punya kesempatan mengantar dan menjemput Martha hari ini. Akankah seruan kebanggaan akhirnya terucap dari mulut Ah Lung? Ataukah akan ada senyum tipis yang diam-diam terulas di wajah beliau sembari fokus pada jalanan ketika menyetir pulang?

Pandangan Martha jadi buram. Dan dengan air mata yang menggenang, ia tersenyum. Berharap dapat melihat ekspresi bangga papanya melihat apa yang sudah ia kerjakan. Ah, betapa hati Martha rindu menghabiskan waktu berkendara berdua dengan papanya, menuju ruang ujian dan pulang kembali ke rumah, seperti yang biasa mereka lakukan.

Martha mengusap air mata dan beranjak dari kursi. Setelah memastikan semua yang ia butuhkan masuk ke dalam tas, Martha memutuskan untuk mandi. Kepalanya memang perlu diguyur agar tidak mengeluarkan asap –seperti mesin mobil yang memanas karena digunakan melampaui batas– dan mampu bekerja optimal saat sidang skripsi nanti.

--

Mematut dirinya di cermin, Martha lagi-lagi menghela napas puas. Kemeja putih dan celana panjang hitam itu masih pas di tubuhnya. Ia tersenyum mengingat dua potong pakaian ini terakhir ia kenakan saat masa orientasi sebagai mahasiswa baru.

Dulu ia melangkah masuk ke kampus dengan hati degdegan, khawatir akankah ia sanggup menjalani tahun-tahun di hadapannya. Hari ini ia menapaki lorong yang membawanya keluar dari hidup kuliah. Hatinya masih degdegan, tak menyangkan berhasil sampai sejauh ini.

Dengan penuh keyakinan, dan setelah untuk kesekian kali merapikan jas almamater yang berada di atas tempat tidurnya, Martha keluar dari kamar. Perutnya sudah protes minta diisi.

"Udah siap, Ta?" sapa suara tinggi dari arah meja makan, bahkan ketika Martha masih berada di ambang pintu kamarnya.

Tak dapat menahan senyum, Martha cepat-cepat mendekat ke meja makan dan menyapa semua orang yang ada di sana. Mama, koko, dan saosao-nya duduk menghadap piring yang sudah kosong. Juga ada kukunya yang menikmati lemper ayam.

"Makan dulu. Kuku belikan kamu nasi gudeg nih," ujar Lingga lembut sembari menyodorkan piring dengan sebungkus makanan di atasnya.

"Xie-xie, Ku. Tahu aja Tata pengen gudeg."

Lanny hanya tersenyum lebar lalu kembali fokus pada lemper di tangannya.

Senyum itu segera menular ke wajah Martha ketika membuka kertas pembungkus dan melihat gudeg dengan sebuah telur utuh dan ekstra sambal goreng krecek di piringnya.

"Gudeg ayamnya dimakan Ming tadi. Kamu makan yang lauk telur ndak apa toh?"

Sekalipun Lanny berkata seakan Martha harus puas mendapat nasi gudeg yang tersisa, gadis itu tahu kukunya pasti sudah merencanakannya sejak awal. Siapa lagi yang mampu mengingat selera keponakannya kalau bukan Lanny? Martha tak begitu suka lauk ayam untuk gudegnya dan tak pernah keberatan menukar lauk itu dengan sambal krecek dari piring Ming.

Sepertinya kebetulan, sebuah kebetulan yang sangat pas dan tepat sasaran.

"Enggak apa, Ku. Xie-xie."

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang