15. Reuni Penawar Rindu

59 8 0
                                    

Bayu dan Martha turun dari motor yang diparkir dekat jalan masuk hotel. Melihat langkah Bayu yang penuh ragu, Martha langsung menarik –tepatnya setengah menyeret– pergelangan tangan laki-laki itu.

Di depan hotel itu, di pinggir kanan-kiri jalan ada banyak warung-warung. Seperti pujasera alam terbuka yang beratap terpal dan berdinding spanduk.

Mata Martha menjelajah, mencari fitur yang mudah dikenali, tubuh tinggi Ming atau rambut cokelat terang Lanny. Biasanya dua hal itu menolongnya menemukan mereka dengan cepat. Alih-alih menemukan Ming atau Lanny, sepuluh meter dari tempatnya berdiri, ia melihat jaket abu-abu yang sangat ia kenali, beranjak keluar dari warung yang menjual ronde.

Seingat Martha, tadi Lanny tidak menyebut namanya sebagai bagian dari rombongan. Bukan reuni seperti ini yang ada dalam benaknya tadi.

Martha tenggelam dalam dilema. Haruskah ia mendekat? Atau berbalik menjauh? Rindu dan canggung sedang beradu dalam hatinya. Terlambat. Mata mereka bertaut, laki-laki itu menemukannya. Martha cepat-cepat melepaskan genggamannya dari tangan Bayu.

Senyum itu. Seharusnya Martha merasa lega melihatnya, tetapi malah ragu dan tanya yang menguasai hatinya. Belum sempat mereka bicara, sudut mata Martha menangkap kemunculan Lanny.

"Lah ini!" Lanny tak melanjutkan kalimatnya, ia menatap Martha dan Bayu bergantian, lalu cepat-cepat masuk kembali ke dalam warung.

Martha menghela napas, lalu mengajak Bayu berjalan mendekat. Dia hanya mengangguk ketika melewati John yang berdiri di akses masuk warung itu.

"Ma, Ku, Ko, Sao." Martha menyapa satu per satu anggota keluarga yang ia lihat di sana. "Aku ajak Mas Bayu."

Bayu terlihat canggung, mengangguk pada Lingga dan Lanny tanpa ada kata yang terucap dari mulutnya.

Martha melihat ada kursi kosong di samping kokonya. Ia bermaksud mengajak Bayu duduk di sana. Belum sempat ia melangkah, Lingga menarik tangan putrinya.

"Itu John mau pesen sate di seberang. Temeni, gih." Lingga menepuk tangan Martha. "Bayu biar ditemani Koko," saran Lingga sambil menatap Bayu.

Tak bisa menolak, Martha hanya mengangguk.

"Eh, lu mau pesen apa, Ta? Angsle mau, ya?" Lanny menanyakan pesanannya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

"Boleh, Ku. Xie-xie*."

"Yuk," ajak John kemudian.

Martha melangkah ragu mengekori John. Biasanya John akan langsung menggandeng tangannya, kali ini ... tidak. Dingin makin menusuk, Martha makin tak punya nyali bahkan untuk menatap punggung John. Ia hanya bisa menatap kakinya sendiri dalam gugup.

Tiba-tiba saja tangan John sudah terentang di hadapannya, menghalangi Martha agar tak terus melangkah. Lalu lintas di hadapan mereka cukup ramai, banyak mobil dan motor lalu lalang. Segera setelah tukang parkir meniup peluit, memberi tanda aman, mereka menyeberang, menghampiri penjual sate yang belum begitu ramai.

Martha memutuskan untuk berdiri di dekat meja yang disediakan, membiarkan John mendekat pada gerobak tempat daging-daging yang telah ditusuk berjajar dan siap dibakar.

"Duduk, yuk." John telah selesai memesan, ia menunjuk pada meja dan bangku kayu yang ada di hadapan Martha.

Tak punya pilihan lain, Martha mengikuti ajakannya. Ia mengusap lengannya, baru menyadari tak mengenakan jaket. Ia berharap gesekan antara telapak tangan dan lengannya akan memberi kehangatan dari udara malam pegunungan.

"Enggak bawa jaket?"

Martha bingung harus bagaimana menanggapi John. Setelah beberapa minggu berpisah tanpa komunikasi, dia seperti kembali ke titik nol dengan laki-laki itu.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang