19. Membaik dan Memburuk

37 6 0
                                    

Daun-daun berguguran. Ranting-ranting pohon menari seirama dengan angin yang berembus. Sebuah pemandangan yang menyejukkan, bahkan di tengah matahari Surabaya yang terik menyengat.

Namun, semua ini tidak membuat hati Martha mendingin. Ada terlalu banyak hal yang memenuhi benaknya dan meninggalkan rasa yang membakar hatinya.

Seharusnya Martha bisa mengurangi kecemasannya setelah mendengar pengakuan John tadi malam. Tetapi perkataan laki-laki itu malah duduk manis di atas gunung permasalahan Martha yang belum terselesaikan. Bukannya meringankan pikiran, pertemuannya dengan John kemarin malah menambah bobot beban hatinya.

Sebulan yang lalu, Martha bersikeras bahwa menemui Bayu adalah keputusan terbaik yang harus ia jalani. Ya, Martha memang mendapatkan jawaban yang ia cari. Misteri soal Bayu sudah terpecahkan. Seharusnya Martha bisa merasa lega dan melangkah lebih ringan untuk menyelesaikan masalah lain yang ada di hadapannya. Tetapi, ketika tiba di rumah kemarin, pikiran Martha makin keruh, ada ganjalan yang tak bisa ia abaikan begitu saja.

Kalau saja Martha tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyelesaikan semua persoalan yang belum bersolusi itu, ia tak merana seperti sekarang ini. Martha melihat hidupnya jadi berantakan, bak terowongan gelap yang tak kelihatan ujungnya.

Martha mengusap wajahnya. Pikirannya buntu. Kepalanya terasa pening. Untung saja siang ini tak banyak orang yang berlalu lalang di sekitar pendopo, tempatnya menyendiri sekarang.

"Here you are! Aku nyariin kamu dari tadi," sapa Ivanka yang dengan segera duduk bersila di samping Martha. "Kamu bertani di rumah Bayu? Jadi gosong begini? Ke Prigen tapi kok kayak dari Bali ya, Mbak?"

Martha mendengus. "Iri bilang. Aku jadi makin cakep, kan? Eksotis gini."

Ivanka tersenyum lebar. "Jadi? Semua sudah beres? Apa sudah ketemu yang kamu cari?"

Martha menutup mata sejenak, merasakan angin sepoi membelai wajahnya. Ia hanya bergumam tak jelas menjawab pertanyaan Ivanka.

Sembari meneguk teh dari botol yang dibawanya, mata Ivanka tak lepas dari Martha. Ia sedang menunggu sahabatnya bercerita.

"Apa sih lihatin aku kayak gitu, Va?" seru Martha yang mulai merasa gelisah.

Ivanka menaruh kedua tangannya di pangkuan, lalu menatap Martha dengan senyum tipis. Seakan ingin memberi tahu Martha bahwa ia akan tetap ada di sana untuk mendengar.

Martha yang duduk bersila mengusapkan kedua tangan pada pahanya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan, ingin menenangkan dirinya sebelum mulai bicara.

Setelah beberapa menit bercerita, dan beberapa kali mengusap air mata yang mengintip di sudut matanya, Martha hanya bisa menunduk.

"Wow! Are you okay, Ta? Pasti kamu kaget banget ya waktu itu. Pasti enggak gampang mencerna semua kebenaran itu."

Martha manggut-manggut. "Tapi, sejujurnya, aku enggak menyesal udah nekat pergi ke sana. Aku belajar banyak dari Mas Bayu dan Bu Ida."

"Tapi...?"

Martha tertawa getir. "Aku enggak bisa sembunyiin apa-apa dari kamu ya, Va." Ia menggeleng kecil, lalu menghela napas. Berusaha untuk melepas sedikit rasa sesak yang tertahan dalam dirinya. "Ternyata kebenaran itu tidak membebaskan." Satu tangan Martha menyentuh dada kirinya, meraba detak yang terasa menyakitkan.

Tangan Ivanka merengkuh bahu sahabatnya, menawarkan rasa nyaman bagi punggung yang mulai bergetar itu. Dan seiring dengan suara isak yang tertahan, pelukan itu makin erat bahkan diikuti oleh usapan di lengan Martha.

"Se-semuanya ... berantakan, Va."

Martha tak tahu berapa lama ia menangis di pelukan Ivanka. Ia sudah tak tahan dengan segala hal yang membebani pikirannya. Ia berharap mendapat keringanan dengan semua air mata yang ia tumpahkan. Namun, tetap saja semua hal itu tinggal tetap dan tak beranjak dari dalam hatinya.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang