11. Terbuka dan Terluka

35 7 0
                                    

Langit mulai terang. Kabut perlahan sirna, meninggalkan embun dan sedikit kesejukan sebelum matahari bersinar terik. Martha melangkah ke belakang rumah, membawa setumpuk baju kotornya.

"Mau dicuci, Ta? Sini, Ibu cucikan," tawar Ida yang sedang menjemur pakaian.

Martha merasa kikuk. Ia menatap Ida sambil membayangkan Bik Karti yang biasanya mencucikan baju-baju mereka di rumah. Rasanya tak pantas membiarkan Ida melakukan pekerjaan itu baginya. "Em ... enggak usah, Bu. Saya bisa cuci sendiri."

Sedetik kemudian penyesalan mulai muncul dari balik layar, mengejek Martha yang kebingungan. Salah sendiri jual mahal. Bingung harus ngapain, kan? Kalau saja tadi dia tidak meladeni gengsinya.

Sembari tangannya sibuk membalik potongan-potongan pakaian, otaknya mencoba mengingat cara Bik Karti mencuci. Sial! Dia baru ingat Bik Karti tak lagi menggunakan tangan kosong untuk mencuci. Mamanya membeli mesin cuci yang cukup canggih untuk melakukan pekerjaan berat itu.

Ya, berat. Martha baru menyadari betapa beratnya celana jin basah yang ada di tangannya sekarang. Satu-satunya ide yang muncul di kepala Martha adalah cara mengucek baju yang dia sering lihat di televisi. Dia selalu mengira mencuci pakaian adalah pekerjaan yang mudah. Terlihat sangat effortless. Para bintang itu selalu tampil cantik di hadapan ember berbusa, bukan?

Sembari mengomeli dirinya sendiri, tangan Martha terus bekerja. Ia baru menyadari, selama ini praktis dia tak pernah menyentuh pekerjaan domestik di rumah. Semua dikerjakan oleh Bik Karti.

Mungkin Bayu benar.

Anak manja kayak kamu mendingan pulang.

Tidak. Ia tidak mau pulang. Tangannya mulai terasa perih. Entah karena kulitnya yang sensitif dengan deterjen atau memang karena tak pernah beradu dengan busa dan pakaian kotor. Tapi, Martha tak boleh menyerah. Perih di tangan dan pedih di hati tidak bisa menghentikan langkahnya.

Buktinya, sudah seminggu Martha bertahan. Seirama dengan tangannya sekuat tenaga mengucek jin, Martha menguatkan hati untuk pantang mundur. Tak apa bila Bayu masih terus menghindar dan menolak bicara padanya. Cepat atau lambat, Martha yakin Bayu akan luluh.

Dia yang akan menyerah, bukan kamu. Batinnya membakar asa. Berusaha menutupi ragu yang terus mengetuk pintu hatinya.

"Ta ...." Suara Ida mengejutkan Martha.

"Iya, Bu?"

"Kamu ikut Mas Bayu ke toko sana," kata Ida cukup lantang, sembari melirik ke arah dalam rumah.

Martha terkesiap. Butuh beberapa detik baginya untuk kemudian menjawab, "Ngapain ke toko, Bu?"

"Iya! Ngapain dia ikut, Bu? Bikin repot!" protes Bayu tanpa menunjukkan batang hidungnya.

"Wis! Pokoknya Martha ikut ke toko," Ida membalas Bayu, sembari mengerling pada Martha. "Ayo, udah cepet. Bajunya tinggalin. Nanti Ibu beresin."

"Jangan, Bu... masa–"

"Nggak apa," potong Ida segera. "Lagian, kenapa kamu cuci pake tangan? Itu ada mesin cuci," sambungnya sembari menunjuk pada sebuah alat elektronik di sudut.

Martha hanya melongo.

Emang kamu cari susah, Ta.

--

Bayu kesal. Martha tahu karena sepanjang perjalanan, Bayu tak acuh padanya.

"Turun," perintah Bayu pada Martha yang diboncengnya. Mereka berhenti di depan sebuah ruko yang masih tertutup.

"Belum buka ini, Mas?" tanya Martha sambil melepas helm yang dikenakannya.

"Nggak bakal buka sebelum aku datang." Bayu mengetuk pintu harmonika dengan kuncinya. Selang beberapa saat, pintu terbuka dengan suara nyaring.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang