9. Pembicaraan Laki-laki

48 7 0
                                    

Ming memeriksa faktur dan surat jalan terakhir dari tumpukan yang ada di hadapannya. Setelah puas dengan hasil inspeksinya, Ming menyerahkan kembali tumpukan itu pada karyawannya.
Setengah hari sudah terlewati. Perutnya terasa kosong. Ia sudah tak sabar menikmati makanan yang dibekalkan Santi.

Baru saja ia bermaksud mengirim pesan pada Santi ketika nada dering ponselnya berbunyi nyaring. Dahinya berkerut melihat nama yang muncul pada layar ponselnya.

Sudah satu minggu berlalu sejak Martha pergi. Dan ia belum menerima kabar apapun dari adiknya.

"Halo?"

"Siang, Ko. Aku ganggu nggak?"

"Enggak. Kenapa, John?"

"Udah makan siang, Ko?"

Kerutan di dahi Ming bertambah dalam. "Belum. Kenapa?"

"Kebetulan aku habis ketemu klien di dekat toko. Kita makan siang bareng? Aku jemput Koko."

Ming melirik jam tangannya. Sepertinya tak mungkin meluangkan satu jam untuk makan siang dengan John. Tak mungkin juga John sengaja mengajaknya makan siang untuk obrolan basa-basi.

Masih ada cukup waktu sebelum ia harus mengantarkan Santi mengajar. Pekerjaan di toko untuk sisa hari ini juga pasti bisa diatasi para karyawan.

"Boleh. Kamu posisi di mana sekarang?"

"Udah di depan."

Sebuah MPV abu-abu gelap berhenti tepat di depan toko.

Ming yakin ini bukan sebuah kebetulan, seperti yang diakui oleh John. Ming jadi ingat pertama kali ia mengajak John bicara empat mata. Rencananya berantakan. Satu jam yang ia sisihkan mulur menjadi beberapa jam. Percakapan mereka berkembang amat jauh dari apa yang ia bayangkan.

Dan sejujurnya, Ming juga tak pernah menyangka perjalanan John dan Martha akan sampai sejauh ini.

--

Siang yang amat terik. Restoran cepat saji ini penuh dengan pelanggan, sekalipun jam makan siang sudah berlalu. Di sudut ruangan, dua laki-laki saling menatap, dingin. Lebih dingin dari pendingin ruangan yang bekerja keras melawan panasnya udara.

"Kenapa Martha?" Suara Ming tidak lebih keras dari biasanya, tapi keseriusannya tak perlu diragukan.

Herannya, lawan bicaranya bergeming, tak ada perubahan di raut wajahnya. John masih menatap Ming tanpa sedikit pun takut terpancar di netranya.

"Kenapa enggak? Martha belum punya pacar kan?" tanya John balik dengan tenang.

"Ah. Kelihatannya informasi yang aku dapat akurat juga."

Alis John terangkat, pernyataan Ming rupanya memantik rasa penasarannya.

"Lebih baik kamu mundur sekarang. Nggak usah datang ke rumah lagi. Jangan hubungi Martha lagi. Dia terlalu berharga buat kamu!" Ming berniat segera mengakhiri pertemuan.

"Exactly! Dia berharga! Banget. Makanya ... dia."

Kali ini giliran Ming yang diliputi rasa penasaran. Respons yang baru ditangkap telinga menjadi lem super yang tidak mengizinkan dia beranjak dari duduknya.

Bukannya melanjutkan kalimatnya, John malah mencomot kentang goreng dan sibuk mengunyah. "Maaf, Ko. Aku lapar. Tadi buru-buru interviu, belum sempat makan."

Ming berusaha menekan gelitik yang muncul dalam dirinya. Kemudian ia menggerakkan tangan kanannya, menyilakan lawan bicaranya makan.

"Koko enggak makan?" tanya John sambil membuka pembungkus hamburger.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang