22. Hati dan Tangan

52 8 0
                                    

"Mulai siap-siap, Ling. Kita pergi!"

Lingga menatap Ah Lung heran. Tak biasanya Ah Lung masuk ke dalam kamar lalu bicara tanpa penjelasan seperti ini. Ia menepuk-nepuk Ming yang sudah lelap di sisi tempat tidur yang berbatasan langsung dengan dinding, memastikan putranya tak terjaga. Ming tak perlu mendengar pembicaraan serius ini.

"Kenapa, Lung?"

"Gua di sini malah bikin Papa makin enggak peduli. Papa pikir toko dan rumah sudah ada gua yang urus. Kita pergi aja, kalau perlu bawa Mama dan Lanny sekalian. Gua ada tabungan, cukup buat buka toko dari nol di tempat lain. Kita mulai lagi."

Lingga melihat suaminya yang gusar. Ia menarik tangan Ah Lung, mengajaknya duduk di kursi yang ada di hadapannya.

"Perut gua gede gini, lu mau nekat ajak pergi?"

Ah Lung tersenyum, membelai perut Lingga yang sudah besar. Anak kedua mereka akan lahir bulan depan.

"Apa nggak ada cara lain supaya Papa mau pulang?" tanya Lingga hati-hati. Ia tahu suaminya tak akan bertindak gegabah. Selalu ada pilihan bahkan di situasi tersulit. Ah Lung sudah sering membuktikan kepiawaian itu lewat sepak terjangnya di toko.

Ah Lung masih menatap pada perut Lingga. Laki-laki itu terdiam, tetapi Lingga yakin pikiran suaminya tidaklah kosong.

"Ada," jawab Ah Lung dengan intonasi yang tak setegang sebelumnya.

Lingga tersenyum, menunggu Ah Lung melanjutkan kalimatnya.

"Kita pindah ke toko. Lebih deket ke sekolah Ming, kan? Lu juga bisa fokus urus bayi, Ling. Biar Lanny yang urus Mama."

"Terus?"

"Gua jemput Papa. Kalo kita nggak ada di sini, Papa nggak mungkin tetep ngotot mau di sana. Nggak mungkin tinggalin Mama dan Lanny cuman berdua di rumah ini."

--

Martha melihat mata Lingga berkaca-kaca setelah menceritakan pembicaraannya dengan Ah Lung puluhan tahun silam. Namun, bersamaan dengan luruhnya air mata Lingga, ada binar bahagia dan senyum yang begitu meneduhkan. Kenangan bersama Ah Lung pasti sedang diputar dalam pikiran Lingga.

Tak bisa ditolak, Martha juga ikut mengenang papanya. Papa yang selalu menghadapi masalah dengan tenang tetapi tajam, dan mengajarkan Martha untuk melakukan hal yang sama. Martha juga sering menjadi saksi hidup akan firasat papanya yang jarang salah. Pemikiran dan taktik yang disusun Ah Lung hampir selalu tepat dan jarang meleset.

"Yeye akhirnya ikut Papa pulang, balik ke sini sama Nainai dan Kuku. Dan juga lihat kamu lahir," terang Lingga pada Martha.

Potongan-potongan puzzle terangkai apik di benak Martha.

"Tata ... enggak tahu ... kejadiannya ... kayak gitu," ucapnya penuh sesal.

Untuk sesaat, ketiga perempuan itu terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Lanny terus mengusap mata dan hidungnya. Lingga duduk tenang dan menatap ke arah dinding. Martha meremas tangannya sendiri.

"Ta," panggil Lingga lembut, "sekarang kamu udah dengar. Mama harap kamu ngerti kenapa Papa, Mama, Kuku selama ini diam dan enggak buka cerita ini."

Martha mengangguk, matanya mulai buram. Rasa rindu pada papanya membuncah.

Papanya tak banyak bicara, tapi selalu memikirkan orang-orang di sekitarnya. Martha yakin papanya sudah merencanakan segala sesuatu; untuk mama dan adiknya, untuk istri dan anak-anaknya, bahkan untuk menantu dan bakal cucunya.

Mata Martha memejam, wajah tegas papanya terbayang. Ah Lung seperti elang yang melatih dan memastikan anak-anaknya menjadi penerbang unggul yang menguasai angkasa seperti dirinya. Ia tak ragu mengepakkan sayap dan menjelajah langit sendiri, tetapi selalu pulang. Sejauh apapun ia terbang, ia pasti kembali kepada belahan jiwanya.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang