18. Amanat Calon Mertua

59 6 0
                                    

Bahu Martha menegang. Ada rasa dingin yang menjalari punggung hingga tengkuknya. Perutnya mulas. Martha tak mungkin tidak menatap John kali ini.

"Ke-kenapa minta maaf?"

John melepaskan genggamannya dari tangan Martha. Sembari menyugar rambutnya, ia mengalihkan pandang dari Martha. Kepalanya menunduk, hela napasnya terdengar jelas.

"I did something wrong. Awfully wrong," ujar John.

Pikiran Martha berkabut. Kecurigaan dan dugaan seperti bermain trampolin di otaknya.

Salah apa? Benak Martha penuh dengan pertanyaan yang tak dapat ia utarakan.

Pandangan mata John terangkat dan bertemu dengan Martha yang masih diselimuti kegelisahan. Tak seperti biasanya, John dengan cepat mengalihkan fokusnya ke arah lain. Tak lama, kepala laki-laki itu bergerak, kembali menunduk, seperti sedang menatap sepatu yang dikenakannya..

"Aku merasa enggak cukup pantas buat kamu. Aku ... nggak seharusnya memperlakukan kamu seperti itu."

Martha berusaha keras menelan ludah. Ia berusaha mengatur napas yang mulai tersengal. Martha harus tenang. Paling tidak, ia harus bisa menahan agar air matanya tidak tumpah.

"Maksudmu apa, John? Aku ... aku enggak ngerti."

John tak langsung menjawab. Kedua tangannya saling menggenggam dan kedua ibu jarinya bergerak gelisah.

"Selama kamu pergi, aku banyak berpikir tentang hubungan kita. Seperti yang pernah aku bilang, kamu perempuan yang sempurna di mataku. You are smart. Kamu dewasa. Kamu salah satu perempuan paling kuat yang pernah aku kenal, Ta."

Ini pertanda buruk, pikir Martha. Terakhir kali "Babe" berubah menjadi "Ta", ia menangisi John hingga jatuh tertidur. Tubuhnya kelelahan dan hatinya terluka. Luka itu Martha bawa pergi dan belum terobati hingga ia pulang siang tadi.

Apakah malam ini luka itu akan menemukan titik akhirnya? Titik akhir yang seperti apa? Mendapat perawatan dan sembuh atau malah makin dalam dan berakhir dengan perpisahan?

"Dan perempuan yang luar biasa, seperti kamu, butuh laki-laki yang sempurna juga. Bukan laki-laki seperti ... aku. Yang punya banyak mantan. Yang enggak bisa serius. Yang ... banyak lemahnya, banyak jeleknya. Enggak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. Aku enggak bisa memberikan apa-apa buat kamu, Ta. I don't have anything to offer."

Martha sudah bersiap membuka mulut dan berkata-kata. Namun, ia merasa seperti ada sebuah gumpalan besar di tenggorokan yang menutup akses keluar semua yang ada di pikirannya. Sementara itu, saluran air matanya seperti aliran sungai di musim penghujan, mengalir deras tanpa bisa dibendung.

"Kalau papamu masih ada, Ta, aku bener-bener enggak punya muka datang dan ketemu beliau. Setelah sekian lama aku dapat izin untuk pacaran sama kamu, rasanya aku belum bener-bener perjuangin kamu. Papamu mungkin ... akan kecewa sama aku."

--

Hujan turun deras sore itu. John, yang berjanji menjemput Martha, datang 30 menit lebih awal dari waktu yang mereka sepakati.

Ketika melangkah masuk ke dalam rumah, John melihat Ah Lung sedang duduk di kursi malasnya dengan mata terpejam. Sayup-sayup, lagu Mandopop yang mendayu-dayu terdengar memenuhi ruang tengah.

John sengaja memperlambat langkah, berharap tak mengganggu Ah Lung yang tampak kelelahan. Namun, tetap saja, Ah Lung merasakan kehadiran John dan membuka mata.

"Eh, kamu toh, John. Duduk. Tata sik* mandi-mandi kayaknya."

John menyeringai. Walaupun ia kerap datang berkunjung, dan bahkan ngobrol santai dengan Ah Lung, terkadang rasa sungkan dan segan masih mengiringi.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang