Senyum Martha lenyap seketika membaca pesan singkat yang masuk di ponselnya. Padahal, baru saja ia keluar dari ruang dosen dengan perasaan lega setelah bimbingan skripsi.
Selain progres skripsi yang dinilai baik oleh sang pembimbing, ada satu beban lain yang dapat terlepas dari bahunya. Setelah memberi penjelasan akan "urusan keluarga yang harus segera diselesaikan", dosen pembimbingnya memberi ruang bagi Martha untuk menunda pengambilan data yang seharusnya sudah dapat dilakukan.
Martha sudah menghitung dengan saksama. Bila semua berjalan sesuai rencana, ia masih punya cukup waktu untuk menyelesaikan skripsi sebelum tenggat yudisium. Memang waktunya tidak panjang, tetapi ia pasti bisa menuntaskan semua tanggung jawabnya.
Martha yakin, setelah menyelesaikan masalah Bayu, awan gelap di pikirannya akan lenyap. Dan ia dapat mengembalikan fokus ke garis akhir.
"Habis dibantai?" tanya Ivanka yang tiba-tiba berjalan di belakang Martha.
Martha mengangkat ponselnya, "Koko mau jemput."
"Ealah. Kan enak dijemput, nggak usah panas-panas naik bemo."
Ivanka benar. Martha biasanya akan bersorak gembira bila Ming -yang sehari-hari sibuk di toko dan hampir selalu punya alasan menolak mengantar-jemput Martha- memberi tahu akan menjemputnya.
Tapi kali ini, Martha ingin memilih pulang sendiri dengan angkutan umum, berpanas-panasan selama lebih dari satu jam untuk sampai di rumah, daripada dijemput dan bertemu dengan mimpi buruknya.
"Koko jemput soalnya diajak pergi sama Kuku Lan. Kamu kan tahu, Va, aku males pol ketemu Kuku." Terlebih setelah pertemuan keluarga beberapa hari lalu.
Ivanka melingkarkan tangan di lengan Martha. "Santai aja, Ta. Aku tahu pasti Ayi Lanny ngajak ke Pasar Atom."
Martha tak bisa menahan senyum mendengar tebakan Ivanka.
"Beli aja itu semua makanan yang haojek, yang enak-enak itu. Obat bete. Minta kokomu bayarin."
Kedua gadis itu sampai di sebuah pendopo, tempat yang sering mereka datangi mahasiswa untuk menunggu kelas selanjutnya atau mengerjakan tugas.
Martha duduk bersila dan bersandar di salah satu tiang. "Kuku pasti bakal tanya-tanya, Va. Bikin enggak nyaman."
"Paling banter kamu ditanya kapan lulus, kapan wisuda-"
"Kapan kawin, kapan punya anak." Martha menyela ketus. Ia menunduk, menatap kedua kuku ibu jari tangannya yang bergantian saling mencungkil. "Aku belum mikir hal-hal itu dulu, Va. Ada hal penting yang harus aku urus."
"Kamu hamil, Ta?" Mata Ivanka membelalak.
"Ngawur!"
Ivanka terkekeh dan pandangannya melembut. "Terus, ada apa? Semester ini udah nggak ada kuliah, kan? Bab 3 masih perlu revisi?"
Martha menatap Ivanka. "Bab 3 sudah beres. Aku sudah dapat lampu hijau buat ambil data. Tapi, aku tunda dulu, Va. Aku mau pergi."
"Hah? Guyonanmu enggak lucu, Ta."
Martha tak tersinggung Ivanka menyangka ia bergurau. Biasanya ia memang selalu menempatkan urusan kuliah sebagai prioritas utama. Menunda tugas untuk sesuatu yang lain belum pernah muncul di kamus hidup Martha.
"Aku serius."
Martha membongkar semua di hadapan Ivanka. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun dari sahabatnya. Ivanka perlu memahami situasi yang ia hadapi. Dan ia berharap Ivanka akan mau, dan pasti tak sampai hati menolak, menjadi telinganya selama Martha absen dari kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Root to Fly
RomanceHidup Martha, si perempuan Chindo Suroboyo yang galak dan keras kepala, dihantam badai tak terduga. Kematian mendadak papanya menggoyahkan dunianya. Seakan belum cukup, sebuah rahasia gelap terungkap dan mengancam seluruh sisi kehidupan Martha. Mart...