Martha sedang duduk di ruang makan rumahnya. Ia mengamati Lingga dan Lanny yang sibuk mengatur oleh-oleh dari Ida. Dua tandan pisang super besar bersandar di dinding seberang tempat Martha duduk. Sedangkan meja makan mereka penuh dengan kantong yang berisikan berbagai macam makanan.
Gawai di saku celananya bergetar. Pesan dari Bayu.
Udah nyampe, Ta? Macet?
Martha tersenyum membaca pesan itu.
Beruntung Ming memutuskan menuruti saran Bayu untuk segera berangkat seusai makan siang di rumah biru. Setelah masuk ke jalan tol, mereka mendengar penyiar radio melaporkan kemacetan panjang di ruas jalan utama yang sudah mereka lewati beberapa saat sebelumnya.
Martha cepat-cepat mengetik jawaban.
Lancar, Mas. Makasih lo, oleh-olehnya banyak banget.
Martha terheran-heran melihat begitu banyak buah tangan yang Ida siapkan untuk mereka bawa. Ia bahkan tak tahu kapan Ida menyiapkan semua ini.
Pesan dari Bayu masuk lagi.
Kapan-kapan mampir. Ibu bilang rumah sepi enggak ada kamu.
Senyum Martha makin lebar. Setelah hampir sebulan tinggal di rumah biru, rasanya berat berpisah dari Ida dan Bayu. Martha sudah terbiasa dimanjakan Ida dan beraktivitas bersama Bayu yang mengajarinya banyak hal.
Ironis sekali. Saat ini dia merasa asing pulang ke rumahnya sendiri. Hatinya bergejolak melihat Lingga dan Lanny yang sibuk berdiskusi. Bukankah mereka yang melarang Martha pergi? Dan seingat Martha, terakhir kali Lanny bertemu dengan Bayu, kukunya itu bahkan tidak mau menatap laki-laki itu. Sekarang, mereka –dengan tanpa beban– menikmati buah tangan dari orang yang mereka hindari, orang yang tidak mereka sukai.
Tubuh Martha terasa panas. Muak dan mual menguasai rongga perutnya. Mengapa semudah itu bagi dua perempuan di hadapannya bertingkah seolah si pemberi buah tangan, yang katanya dan kelihatannya amat mereka benci, adalah sahabat lama yang harus dihargai? Semudah itukah hati mereka berubah karena dua tandan pisang super besar yang juga super cantik dipandang mata?
Menemui Bayu benar-benar langkah yang salah! Bukannya mendapat kebenaran yang memulihkan nama baik keluarga, Martha malah melihat kenyataan bahwa keluarganya begitu jauh dari standar yang mereka agung-agungkan selama ini. Martha menutup mata, membayangkan apa yang akan papanya katakan melihat semua ini.
Dada Martha terasa sesak. Kekecewaan membanjiri hatinya. Sekuat tenaga, Martha menahan diri untuk tidak terisak, terlebih ketika mengingat Ida dan Bayu. Mereka yang terbuang dan senantiasa dibebani dengan penghakiman, kini menempati posisi istimewa di hati Martha.
Gadis itu memutuskan untuk beranjak, mungkin bantal kesayangan akan menolong memperbaiki suasana hatinya.
"Kamu nggak lapar, Ta? Mama beliin bakso kikil ya? Atau tahu campur kesukaanmu?" Suara Lingga menghentikan langkah Martha.
Tanpa berpaling, Martha menjawab, "Enggak lapar, Ma. Tata ke kamar dulu."
Dan tanpa menunggu jawaban, Martha melangkah hingga berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Tangan Martha sudah berada di pegangan pintu, tetapi belum juga bergerak membuka. Di balik punggungnya, masih terdengar suara lantang Lanny yang bersahutan dengan suara lembut Lingga.
Seharusnya Martha lega sudah kembali ke rumah, ke tempat paling aman dan yang selalu ia rindukan. Tetapi mengapa justru getir yang muncul dalam hatinya?
--
Suara ketukan di pintu kamar memaksa Martha tersadar dari tidurnya. Tapi sesungguhnya ia masih tak rela membuka mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Root to Fly
RomanceHidup Martha, si perempuan Chindo Suroboyo yang galak dan keras kepala, dihantam badai tak terduga. Kematian mendadak papanya menggoyahkan dunianya. Seakan belum cukup, sebuah rahasia gelap terungkap dan mengancam seluruh sisi kehidupan Martha. Mart...