Ruang rawat Gio hari ini amat begitu ramai. Kedatangan Attaya berhasil menarik perhatian mereka, meski sudah ada pawangnya tetap saja mereka menggoda cewek itu.
"Duh Ta, jangan ketawa gitu. Jatuh hati gue lama-lama" lontar Adnan yang lansung di soraki yang lain.
"Woooohhh dasar buaya emang"
"Gini-nih kalau buaya baru keluar kandang, bawaannya ngegodain melulu"
"Awas Nan, di terkam pak bos nanti"
"Hati-hati lo, pulang nanti sisa nama doang"
Adnan sontak menoleh ke arah Mikey yang tengah menatapnya tajam. Itu berhasil membuatnya meneguk saliva, tak aman untuk jantungnya yang sudah kicep deluan.
"Hehehe ... bercanda pak bos" cengir Adnan sambil membuang muka, tak kuat akan tatapan Mikey yang amat luar biasa tajamnya.
Attaya sendiri hanya terkekeh melihatnya. Cewek itu menghampiri brankar di mana Gio terbaring. Matanya menatap kaki Gio yang di perban.
"Jadi udah bisa pulang nih Gi?" Tanyanya yang masih fokus akan kaki Gio.
"Nggak tau nih, kata pak bos di sini dulu aja. Karena kalau pulang ke kosan nggak ada yang urusin, kalau di sini kan ada" ujar cowok itu, menatap nanar kakinya yang patah.
Memang Gio itu punya orang tua lengkap tapi terasa seperti tak punya. Cowok itu hidup sendiri di sebuah kosan, di mana yang punya adalah milik ibunya Beni.
Kadang hidup berkecukupan juga tidak enak. Gio bisa rasakan itu, saat dimana ia butuh perhatian kedua orang tuanya, mereka malah lebih sibuk memerhatikan kertas serta berpergian untuk bisnis mereka.
Helaan napas berat terdengar. Kadang Gio juga merasa iri dengan teman-temannya yang lain. Mikey saja yang sudah tak punya ibu tapi tetap dapat kasih sayang dari sang ayah meski tidak setiap hari.
Ia, entah kapan. Gio hanya bisa berharap, bahwa suatu saat nanti kedua orang tuanya tau bahwa mereka masih memiliki seorang anak. Rasa sedihnya hanya bisa ia tutupi dengan setiap candaannya.
Lelah memang tapi Gio harus apa. Posisinya di sini harus mengerti saja. Bahwa pekerjaan yang orang tuanya lakukan memang lebih penting di banding ia seorang beban yang bisa menyusahkan.
Kali ini saja ia buat susah. Terutama bagi sahabat-sahabatnya, apalagi Beni.
Raut sedih itu tidak lepas dari penglihatan Attaya. Ia tau itu, rasa di mana ia ingin sekali rasakan. Perhatian kedua orang tua. Tapi sayang ia tidak pernah mendapatkannya.
Sepertinya Attaya dan Gio sama. Bedanya Gio masih memiliki tapi Attaya sudah tak punya.
Tersenyum lebar, Attaya membarikan usapan lembut di bahu cowok itu. "Hey! Jangan pernah merasa sendiri Gi, gue bisa kok rawat lo. Kita kan sekarang sodaraan"
Mengangkat wajahnya Gio menbalas senyuman. Yah, ia masih punya sahabat-sahabatnya. Meski Gio masih sering berfikir bahwa ia adalah beban.
"Makasih yah Ta, udah mau ngaggap gue sodara" perasaan Gio sekarang seperti meletup-letup.
"Loh! Siapa waktu itu yang bilang bahwa kita sekarang sodaraan, nggak ingat waktu pertama kali Arga kenalin gue ke kalian. Lo sendiri yang bilang Gio" masih jelas dalam ingatana Attaya akan penuturan sahabatnya itu.
Tentu saja Gio ingat. Dia dan Beni begitu semangat menggaungkan bahwa Attaya adalah sodara perempuan mereka yang harus keduanya jaga. Karena Gio dan Beni tidak pernah punya seorang adik, datangnya Attaya memberikan warna tersendiri.
"Dih apaan lo markonah nangis gitu" cela Beni yang sontak berhasil membuat atensi orang-orang dalam ruangan lansung ke arah Gio.
"Anjir! Kenapa lo nangis Gi" Arga lansung bangkit dari duduknya dan menghampiri sang sahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
my Sweet Gangster
Romance⚠️ warning!! ini mature content, banyak adegan 18+ ke atasnya. Kekerasan, seks, dan ucapan frontal. Jadi mohon bijak yah, yang nggak suka sama cerita kayak gini ganti lapak aja. "lo bukan jalang, tapi milik gue. seluruh apa yang ada dalam diri lo it...