Part 4 - Polarity

17 0 0
                                    

"Tumben mengajakku bertemu?"

Seorang lelaki berparas menawan menarik kursi dan menempatkan dirinya yang terlihat tidak nyaman di hadapan seorang perempuan—yang juga berparas menawan.

"Kukira kau orang yang sibuk, Kay," ucap lelaki itu dengan canggung mencoba berbasa-basi setelah pertemuan mereka yang sudah telampau lama.

"Memang, dan aku yakin kau juga sibuk. Jadi, aku tidak akan berlama-lama. Ada satu hal yang ingin kutanyakan dan kupastikan," ujar perempuan itu tenang.

Lelaki canggung itu mengangguk ringan, mempersilakan teman—yang sudah lama tidak ia temui—untuk bertanya.

"Jujur saja, aku yakin bahwa kau tahu kalau aku masih berteman dekat dengan Hanni. Jadi, apa maksudmu?"

Keningnya bekernyit, "ya?"

"Mengenai cincin. Apa tujuanmu kembali menemui Hanni dan memberikan cincin itu padanya, Bomi?"

Nada perempuan itu meninggi. Kayla memicingkan mata, menatap lekat ekspresi wajah Bomi yang berubah menjadi sendu dan karut. Lelaki itu hanya menggigit kecil bibir bawahnya dan tetap bungkam.

"Aku tak bisa asal menyimpulkan begitu saja. Kau pasti punya alasan sendiri untuk melakukan itu. Aku pun tahu kau adalah orang yang juga tersiksa atas kejadian itu," Kayla merendahkan suaranya, "tapi kau juga tak boleh egois. Selama ini, perempuan itu hidup dengan penuh rasa sakit. Kali ini, aku mohon jangan biarkan dia mengingat rasa sakit yang dulu."

Bomi menunduk, tak berani menatap sorot mata Kayla yang seakan memohon padanya. Ia merasa seperti orang jahat yang diminta untuk berhenti melukai seseorang yang bahkan sangat ia cintai. Apakah dirinya sudah melewati batas... lagi?

"Aku mengerti, Bom, kau membenci kenyataan ini. Aku bersikap seperti ini karena aku tahu seperti apa kau dan Hanni sama-sama merasakan sakit. Dan menurutku, dulu maupun nanti akan tetap sama saja."

Lelaki itu masih senyap. Batinnya bergelut dengan pemikiran-pemikiran rumit yang sangat ia benci selama ini. Ia hanya ingin mencintai perempuan itu dengan tenang dan tulus.

Kayla menegakkan duduknya, "aku hanya ingin mengatakan itu. Aku pamit duluan," ucapnya singkat sebelum beranjak dari kursi.

"Apa aku salah jika ingin melihat wajahnya? Apa aku salah jika terus mencintainya? Apa aku salah jika—"

"Jika kau meminta maaf dan memulai semuanya dari awal?" tukas Kayla memotong ucapan Bomi yang menahan langkahnya.

Perempuan itu berbalik dan menatapnya lekap.

"Aku mengerti kau sangat mencintainya. Namun, tak ada salahnya menyerah pada cinta yang selama ini kau jaga, demi kebahagiaannya. Cinta juga merupakan sebuah pengorbanan, bukan?"

***

Arkan POV

Melihatnya di tempat favoritnya itu menjadi pemandanganku yang tidak membosankan. Mungkin karena sudah biasa melihatnya di sana, entah mengapa saat melihat orang lain yang menempatinya, pemandangannya menjadi sedikit agak mengganjal. Setiap hari meja itu selalu bersanding papan bertuliskan 'Reserved', sekalipun tak ada yang memesannya. Jika aku melihat bayangan wanita itu hendak memasuki kafe, baru cepat-cepat kusingkirkan papan itu. Ya, aku sengaja menyediakan tempat itu khusus untuknya.

Wajah itu sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada senyum atau bahkan tawa tiap kali berdiam diri di sana. Bibir ranumnya yang datar dan mengatup dengan mata yang memperhatikan jendela besar—sesekali melirik ke arah ponselnya—membuatku ingin sekali menemaninya. Namun, jika aku ke sana, siapa yang akan berjaga di sini?

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang