Part 13 - Planning (2)

11 0 0
                                    

.
.
.

!!Happy reading!!

.
.
.

Kedua lelaki itu tampak gagah menapaki satu per satu anak tangga yang menghubungkannya pada sebuah pintu besar. Setidaknya dari jauh mereka terlihat keren dan berani, meskipun nyatanya diri tak bisa dibohongi.

Jantung mereka berdegup sangat cepat dan membuat hormon adrenalin mereka meningkat berkali-kali lipat, dengan buliran-buliran keringat sebesar biji jagung yang membasahi kening dan punggung mereka.

Henno seketika menahan Bomi dengan menarik ujung jaketnya sebelum lelaki itu membuka pintu besar,

"tunggu!"

"Kenapa lagi?" Tanya Bomi tertahan dengan kening berkerut.

"Kau bilang ingin bertaruh."

Bomi mengangguk meng-iyakan pernyataan Henno.

"Pakai apa?" Tanya Henno meremehkan Bomi yang kini di matanya terlihat seperti pemuda miskin yang patut dikasihani.

"Hey, jangan meremahkanku, Bang. Aku tidak semiskin itu. Aku ini kaya."

Henno mengamati lelaki itu dari atas sampai bawah, lalu menganggukkan kepalanya dengan mimik yang masih meremehkan.

Henno mengulurkan tangannya dan menurunkan hodie yang sedari tadi masih menutupi kepala dan wajah Bomi, lalu merapikan sedikit rambut Bomi yang agak berantakan.

"Apapun itu, wish us luck."

Ucap lelaki itu sembari menepuk bahu Bomi dan mendorongnya untuk membuka pintu itu. Bomi hanya tersenyum. Diam-diam dirinya bersyukur dipertemukan kembali dengan Henno yang benar-benar seperti Apollo dalam hidupnya.

==================================

Begitu pintu besar dibuka, perubahan suasana sangat terasa. Bisa dibilang seperti memasuki sisi gelap dunia lain.

Di luar memang tampak sepi, tidak ada seorangpun yang terlihat kecuali dua orang lelaki itu, Henno dan Bomi. Namun, berbeda 360 derajat dengan keadaan di ruangan itu. Berpuluh pasang mata seketika mengarah pada Bomi dan Henno yang masih berdiri di ambang pintu. Sekalipun di tengah hari bolong seperti ini, aktivitas laknat itu tetap dilakukan demi menghidupi diri dan keluarga.

Kini seluruh mata benar-benar tertuju pada kedua pemuda itu lantaran wajah Si Terhebat kembali muncul setelah 3 tahun lebih kepergiannya. Bisik-bisik mengenai kehebatan Henno kembali terdengar, sedangkan Si Terhebat sendiri tengah mencoba mengingat dengan keras bagaimana memainkan Black Board yang telah lama ia tinggalkan itu.

"Di mana Tuan Kasim?!! Eh, maksudku Karim." Teriak Bomi menggelegar ke seluruh penjuru bangunan.

Henno yang sudah hampir ingat kini hilang fokus dan tertawa, "nama yang bagus." Bisik Henno pada Bomi.

Mendengar suara Bomi yang sangat dinantikan dan bisik-bisik nama Henno yang sangat dirindukannya, membuat pria tinggi besar pemilik nama Karim itu menghampiri keduanya.

Di tangannya berdiri tongkat kayu jati bercat emas dan batang tembakau di sudut bibirnya. Pria itu menggunakan setelan jas hitam rapi dan sebuah kacamata hitam yang membuat kesan misterius sekaligus elegan pada wajahnya yang memiliki brewok cukup lebat. Tak lupa jam tangan emas antik yang semakin meyakinkannya bahwa ia adalah seorang tersohor di kota ini.

"Bomi kesayanganku.. akhirnya kau menemuiku juga, Sayang." Sapa pria tengah baya itu sembari membuka kedua tangannya, seakan mengucapkan selamat datang.

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang