Pagi ini sinar matahari bersinar lebih cerah, didampingi dengan birunya langit yang membuat orang-orang tampak bersemangat dalam memulai hari.
Seorang lelaki muda berdiri tegap di depan sebuah bangunan minimalis yang masih bertulisan "Closed". Kedua mata itu terpejam dengan senyuman manis mengembang. Wajahnya menengadah ke arah langit. Dihirupnya dalam-dalam udara pagi hingga memenuhi paru-paru, seolah jiwanya sedang menyerap seluruh energi positif sebagai santapan pagi hari ini.
Diam-diam dalam hati lelaki itu mengucapkan mantra yang baginya seperti sihir yang akan mensugesti dirinya.
"Semoga hari ini tidak ada pelanggan aneh yang menyebalkan, tidak ada kejadian absurd di luar akal sehat, dan bisa ketemu di—"
"Good morning~"
Seketika, lelaki itu membuka mata. Belum selesai ia merapalkan doanya, suara melengking yang mengganggu gendang telinganya itu berhasil menyerap kembali seluruh energi positif dalam dirinya dan menggantinya dengan energi negatif. Ingin rasanya dia membungkam sumber suara menjengkelkan itu.
Diliriknya asal suara yang ia yakini seorang perempuan, dan... terdengar tidak asing.
Benar saja, lelaki itu membelalak.
"Hanni?"
"Hai!" seru Hanni membalas sapaan—kejutan—lelaki itu, yang tak lain tak bukan adalah si pelayan.
"Ngapain ke sini? Eh, maksudnya ada apa pagi-pagi sudah ada di sini?" lelaki itu kaget dengan nada nge-gasnya. Bagaimanapun Hanni adalah customer yang harus dihormati.
"Mau minum kopi lah," perempuan itu tersenyum manis, tapi juga terlihat menyebalkan.
"Ini masih jam setengah 7 pagi, loh."
"Yaa, terus kenapa kalo minum kopi jam setengah 7 pagi? Orang-orang di luar negeri juga minum kopi pagi-pagi kok buat menambah energi," Hanni berkilah dengan mimik yang makin-makin menjengkelkan.
"Bukan begitu... Maksud saya, saya juga belum siap kalau ada pelanggan jam segini. Tuh lihat, bangkunya saja belum diberesin."
Pandangan Hanni mengikuti telunjuk lelaki itu mengarah. Suasana kafe yang masih gelap—hanya mendapat pencahayaan dari sinar matahari yang masuk malu-malu melalui celah tirai yang tidak tertutup rapat—dengan bangku yang masih berantakan.
Seorang kawannya yang bekerja part-time, yang biasa merapikan kafe sebelum tutup, izin tidak bekerja karena ada blind date, katanya.
"Aku bantuin," ujar Hanni berbicara santai. Pandangannya kembali menatap lelaki itu yang kembali tertegun.
Ia heran dengan sikap perempuan di hadapannya ini. Otaknya menganalisa, mencari tahu apa yang menyebabkan perempuan bernama Hanni ini mengganggunya di pagi buta seperti ini.
Lelaki itu membelalak begitu mendapatkan pencerahan. Ia berhasil mengingat perkataan Hanni kemarin sore.
'Ah, cincin!'
"Hei? Kok malah bengong? Terharu ya sama kebaikan saya?"
Lelaki itu mengerjap sesaat kesadarannya kembali memasuki sumsum tulang belakang. Ia menampilkan mimik wajah 'mengertinya'—manggut-manggut dengan bibir yang tersenyum ke arah bawah (?)—yang mana di mata Hanni raut wajah itu justru membuat dirinya kesal.
"Kenapa mukanya begitu, sih? Jelek banget," celetuk perempuan itu.
"Pasti karena cincin itu kan, makanya kau datang sepagi ini? Ya kan?" tanya lelaki itu sembari membuka kunci pada pintu kaca besar.
"Pangeran mana sih yang jam segini sudah keliaran buat nongkrong di kafe?" ulasnya mengejek sembari melengos masuk tanpa melihat ekspresi Hanni yang sudah kesal setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nice To Meet YOU
RomancePandangan Bomi memotret wajah cantik seorang perempuan yang tengah memandangnya dari kejauhan. Tanpa keduanya sadari, Tuhan sedang menuliskan cerita dari sebuah kehilangan. Setiap langkah lelaki itu menjadi awal bahagianya, dan juga rasa sakit. Namu...