"Kau pikir Hanni akan memaafkanmu setelah membuatnya tak berdaya seperti ini?"
Seorang wanita tengah baya berteriak keras di hadapan lelaki yang menunduk. Wajahnya memerah menahan semua amarah dan keputusasaan yang membuat urat-urat lehernya tampak ke permukaan kulitnya yang lelah. Meskipun bukan seorang ibu, lelaki itu mengerti rasa sakit yang dirasakan wanita yang merupakan ibu dari seseorang yang sedang terbaring koma karena dirinya.
"Lebih baik kau pergi dulu. Biarkan kami menerima keadaan dan kau menenangkan diri," ujar seseorang yang ia panggil Kakak.
"Maafkan aku, Kak."
"Ini bukan salahmu. Pulanglah."
Lelaki itu menahan tangis dan mengangguk lemah. Dengan langkah berat, ia mencoba memberikan jarak seperti yang dikatakan. Bersamaan dengan langkah yang semakin terpaut, tangisnya pecah. Lelaki itu melahirkan penyesalan dan menjaga luka yang ia bawa kemana-mana.
Tanpa ia sadari, ia masih bertahan dengan penyesalan yang semakin membesar, juga luka yang tak kunjung sembuh. Bahkan, sampai saat ini.
***
Hanni merenggangkan tubuhnya yang mulai merasa kaku. Bagaimana tidak, sejak lelaki itu datang, tanpa ia sadari matanya mengikuti setiap langkah lelaki itu, sedangkan tubuhnya diam mematung. Gadis itu bahkan bisa merasakan denyut nadi di tangannya, juga jantungnya yang tak berhenti berdebar cepat.
Oksigen kini memenuhi paru-paru yang sedari tadi lupa untuk mampir. Memperhatikan lelaki itu membuat otaknya lupa bahwa manusia perlu bernapas dan mata butuh berkedip.
Hanni tersihir sesaat aroma parfum juga turut mempermanis atmosfer kafe. Indera penciumannya tak hanya mengirimkan sinyal aroma kopi, vanilla, dan cokelat yang identik dengan kafe, tapi juga aroma damask rose bercampur dengan cengkeh yang kini memenuhi paru-parunya.
Dahi perempuan itu bekernyit, bertanya dimana ia pernah mencium aroma yang baginya sangat tidak asing, tapi juga tidak akrab. Harum dari bunga mawar yang segar dipadukan dengan aroma khas cengkeh yang tercium sangat elegan. Semakin kuat aroma itu merayap di hidungnya, keningnya semakin berkerut mengingat siapa saja orang-orang di sekitarnya yang cocok dengan aroma ini.
Sungguh, ia tidak ingat siapa laki-laki yang memperkenalkannya dengan aroma parfum yang khas ini. Pasalnya ia benar-benar tidak asing dengan aroma yang diam-diam membuat dirinya semakin tenang dan nyaman.
Senyum itu kian merekah. Pandangannya sama sekali tak mau lepas dari punggung tegap dengan bahu lebar di hadapannya saat ini. Tak hanya parasnya yang tampan, aromanya pun sangat Hanni suka. Lelaki itu seakan telah menguasai semua panca indera Hanni. Bahkan, ia mulai bermain-main dengan imajinasinya dan membayangkan jika ia ditakdirkan untuk dapat berkenalan dan semakin dekat dengan lelaki itu.
Dengan senyum manis dan penuh artinya itu, Hanni diam-diam memberi nilai pada sang pangeran—baginya.
Terlalu sempurna.
Batin perempuan itu mengambil kesimpulan bahwa dirinya sudah tertusuk panah asmara yang membuat lelaki itu tampak sempurna di matanya. Ia mengakui bahwa dirinya benar-benar jatuh cinta. Tak peduli bagaimana nanti jadinya, apakah hanya jatuh cinta sesaat atau akan indah seperti imajinasinya, yang Hanni tahu saat ini keinginannya adalah bisa berkenalan dengan pangeran tak bernama dambaannya itu.
Sebuah alunan jazz klasik terdengar, diikuti dengan lelaki itu yang mengangkat panggilan telpon. Hanni mendengar samar suara berat dan halus yang beberapa kali mengatakan 'iya'. Hanni tersenyum. Bahkan, suaranya pun mampu membuat Hanni memberikan nilai tambah yang juga sempurna.
Tak lama lelaki itu bangkit dan dengan sedikit terburu berjalan meninggalkan segelas minuman berwarna putih yang masih setengah penuh dan seorang perempuan yang penuh kecewa.
Lelaki itu meninggalkan kafe setelah pandangannya mengarah ke meja tempat ia duduk, memastikan barangnya tidak ada yang tertinggal di sana, lalu sosoknya menghilang di tikungan jalan yang mengarahkannya pada sebuah tempat parkir.
Bibir itu kembali mengatup dan merengut. Mata binarnya kembali sayu dengan segudang kecewa yang menutup rasa penasarannya. Aroma mawar itu masih sedikit tertinggal di sana. Ingin rasanya Hanni menyimpan udara beraroma mawar itu di sebuah botol kecil sebagai cindera mata untuknya. Pandangannya kembali menatap ke arah meja lelaki itu. Kedua matanya dengan spontan menyipit saat menangkap sebuah benda kecil berwarna putih bersinar dari balik gelas.
Seperti seorang pencuri, Hanni menatap ke sekelilingnya, memastikan tidak ada yang melihat apa yang akan ia lakukan.
Perempuan itu menyadari bahwa sebuah cincin tertinggal di sana. Dengan sigap, tubuhnya berpindah tempat dan menyentuh cincin itu. Ditiliknya cincin itu lekat-lekat.
Cantik
Sebuah cincin emas dengan permata kecil dan detail ulir bunga yang mempermanis benda mahal itu. Hanni ingin memasukkan jari manisnya dan berharap bahwa itu miliknya, hingga perempuan itu menyadari bahwa ia harus segera mengejar sang pemilik dan mengembalikan apa yang menjadi haknya.
Hanni berlari secepat kilat, maksudnya secepat yang ia bisa, meninggalkan kafe. Namun, langkahnya terhenti sesaat ia menyadari barang-barangnya masih tergeletak di atas mejanya, juga ia belum membayar semua pesanannya.
Perempuan itu menyempatkan diri berlari ke arah pelayan, sebelum dirinya ikut menghilang di tikungan jalan.
"Aku harus mengejar seseorang sebentar. Kutitip handphone dan tasku. Aku akan segera kembali," ucapnya dengan sangat cepat.
***
Bukankah apa yang menjadi miliknya harus kukembalikan padanya?
Lelaki bernama Bomi itu merasa seperti itu ia harus melakukannya agar bisa kembali melanjutkan hidup. Di samping kata maaf yang belum tersampaikan secara langsung, mungkin benda yang bukan miliknya itulah yang membuat penyesalannya semakin besar.
Ini sangat tidak mudah. Sungguh. Melihat wajah cantik itu kembali membawanya pada titik bahagia sekaligus tenang yang tidak pernah ia rasakan selama tiga tahun belakangan ini. Namun, di sisi lain, penyesalan yang telah bersarang bertahun-tahun ini seakan menghalanginya dari cerita baru yang ingin ia tulis ulang.
Bukankah aku juga harus tahu diri?
Begitu pikirnya merendahkan diri. Persetan dengan rindu, Bomi lebih menjaga agar perempuan itu tidak membencinya. Terdengar egois memang, karena bagaimanapun dia pantas untuk dibenci. Tapi, Bomi belum bisa, bukan, lebih tepatnya tidak akan pernah bisa menerima kenyataan apabila perempuan itu sampai membenci dirinya.
Jadi, ia memutuskan untuk mengembalikan benda milik perempuan itu secara diam-diam. Sangat diam, sampai ia berdoa agar takdir membawa perempuan itu pada cincin yang sejak awal memang dibuat hanya untuk dirinya seorang.
Keyakinannya untuk bisa kembali bahagia seperti dulu mendadak senyap. Ternyata tak semudah membalikan telapak tangan. Bagaimana ia bisa menikmati jatuh cinta dengan kekasihnya dan kembali hidup bahagia dengan tenang, sementara mimpi buruk penuh darah yang selalu ia saksikan setiap malam?
Bukankah tak boleh aku berpura-pura bahagia seolah tak terjadi apa-apa di antara kita, Hanni?
.
.
.
"Aku tak membawa luka dan penyesalan ini untuk kupersembahkan lagi kepadamu. Mereka kusimpan untuk kujadikan pelajaran yang berarti, bahwa mencintaimu adalah hal luar biasa yang akan bertahan selamanya."
-Bomi
KAMU SEDANG MEMBACA
Nice To Meet YOU
Roman d'amourPandangan Bomi memotret wajah cantik seorang perempuan yang tengah memandangnya dari kejauhan. Tanpa keduanya sadari, Tuhan sedang menuliskan cerita dari sebuah kehilangan. Setiap langkah lelaki itu menjadi awal bahagianya, dan juga rasa sakit. Namu...