Part 9 - To Be Or Not To Be

22 0 0
                                    

Kedua perempuan itu menatap serius ke arah cincin yang tergeletak begitu saja di atas meja. Kayla yang sedari tadi asik melahap sarapannya—karena kelaparan—sampai menghentikan makannya dan melupakan rasa laparnya.

"Jadi kau masih menyimpan benda ini?" tanya Kayla sambil melirik ke arah Hanni yang mengangguk.

"Bagaimana aku bisa mengembalikan kalau aku saja tidak bertemu orang itu lagi," ucapnya menghela napas.

"Kemarin kau cerita kalau cincin ini sempat hilang dan yang menemukan pelayan kafe tampan bernama Arkan, ya kan?" tanya Kayla memastikan informasi yang diberikan Hanni padanya.

Hanni kembali hanya mengangguk.

Pelayan yang kemarin, itu Arkan bukan, ya? Bomi mengenalnya? Kalau iya, berarti kemungkinan besar Hanni bisa bertemu Bomi lagi... Duh, ternyata sudah jadi rumit ya...

"Kenapa? Kau lagi mikirin apa? Kok kayaknya berat banget?" Hanni menegakkan tubuhnya menatap cemas sahabatnya itu.

Kayla salah tingkah, "eh, masa sih? Memang kelihatan, ya?"

"Keningmu berkerut seperti nenek-nenek kalau sedang berpikir keras. Kau ada masalah? Apa? Kerjaan? Atau percintaan?" cecar Hanni dengan pertanyaan beruntut.

Kayla terkekeh, "bukan begitu. Aku cuma mikir, kasian... pasti yang punya cincin lagi bingung karena cincinnya hilang. Iya kan?"

Hanni diam. Ucapan Kayla seolah menyentil dirinya. Benar yang dikatakan Kayla, baik laki-laki itu, maupun perempuan yang punya cincin ini pasti sedang bingung mencari cincin.

"Tapi kata Arkan tidak ada orang yang menanyakan cincin," sanggah Hanni.

"Kau pernah bilang kalau kau sempat bertemu laki-laki itu di depan kafe. Siapa tahu saat itu dia mau menanyakan cincinnya."

Ah, benar juga! Bisa jadi seperti itu.

Batin Hanni membenarkan ucapan sahabatmya itu.

"Nanti kucoba hubungi Arkan untuk menanyakan," hela Hanni. Perempuan itu kembali menatap Kayla dengan cemas, "kau benar hanya memikirkan itu? Kau terlihat stres banget."

"Ah, i'm fine~ Mungkin hanya kecapekan karena seminggu ini aku benar-benar diperdaya perusahaan," keluh perempuan itu sembari merenggangkan tubuhnya sebelum melanjutkan sarapannya yang belum habis.

"Kalau aku boleh saran, mending kau langsung bertemu saja dengan orang bernama Arkan itu, dan memberikan cincin itu. Biar dia saja yang menyimpannya. Kau tidak perlu ikut campur."

Hanni mengatupkan bibirnya dan menghela napas. Ia tidak setuju dengan saran Kayla.

"Tidak bisa, Kay. Bagaimanapun, cincin ini aku yang menemukan. Jadi, harus aku yang mengembalikan. Apalagi aku sempat menghilangkannya. Paling tidak, aku mau minta maaf," unggah Hanni panjang lebar membeberkan alasan. Matanya masih terfokus pada cincin cantik itu.

Haaa, berbohong. Aku tahu kalau sebenarnya kau hanya ingin bertemu dengan lelaki itu lagi.

"Yasudah, terserah kau saja, Hanni," sahut Kayla—yang tidak sesuai dengan suara hatinya—mengalah karena ingin segera menyudahi perdebatannya dengan Hanni mengenai cincin itu. Lagipula, dia ingin mengistirahatkan otaknya dari hal-hal rumit di weekend ini.

***

Nada dering terdengar beberapa saat sebelum suara berat menyapa membran timpaninya. Suara itu menyapa Hanni dengan penuh semangat.

"Halo Arkan!" sapa balik Hanni.

"Kenapa, Han?"

"Aku mau nanya," suara Hanni sedikit meragu, "apa ada yang menanyakan tentang cincin?"

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang