Part 12 - Planning (1)

13 0 0
                                    

.
.
.

!! Happy Reading !!

.
.
.

Bomi POV

Sial, 3 orang lelaki gemuk berpakaian serba hitam itu kembali membuntutiku.

Kuarahkan bola mataku pada sebuah bangunan tua dengan jendela hitam besar yang hampir tertutup debu. Dari sana tampak ketiga lelaki berkepala botak tengah membuntutiku dengan mengendap-ngendap, layaknya perampok amatir di film-film klasik kuno.

Orang bodoh mana yang membuntuti diam-diam di tengah bangunan-bangunan yang seluruhnya hampir memiliki kaca besar?

Aku tersenyum kecut sembari mempersempit hodie pada wajahku. Kupercepat langkah kakiku mencoba memberi jarak dengan mereka. Begitupun dengan mereka yang semakin memperlebar langkah agar tak kehilangan sosokku seperti kemarin.

Gila, harus sampai kapan aku terjebak dalam permainan kucing-kucingan seperti ini?

Ku dengar salah satu dari ketiga botak itu berbicara dengan seseorang. Suaranya yang berat dan besar semakin membuatnya terlihat bodoh di tengah pengintaian yang menjadi sia-sia seperti saat ini. Sekalipun samar-samar, tapi aku bisa mengetahui kesimpulan pembicaraannya dengan seseorang yang kuyakini adalah bosnya. Mereka berniat membunuhku.

Benar, tak ada yang bisa diharapkan dari seorang miskin sepertiku untuk dapat melunasi hutang. Tidak ada, kecuali membunuhku secara diam-diam dan menjual seluruh organ tubuhku ke pasar gelap.

Aku yang mengetahui bahwa hidupku di ambang kematian, mencoba untuk tetap bersikap tenang dan dingin. Namun, tidak dengan kedua kakiku. Ketakutanku yang tak dapat dibohongi membuat kaki ini -tanpa perintah- bergerak sangat cepat dan semakin cepat seolah berusaha untuk lari dari maut. Aku berlari sangat cepat, sampai-sampai tak memberikan otakku sedikitpun waktu untuk berpikir.

Aku kalang kabut.

Namun, sepertinya Tuhan berkata lain. Di tengah pelarian itu, sekelebat ide gila sedikitnya mampir ke otak tengahku. Aku tau ini gila, bahkan ide ini sama saja dengan mengizinkan kepada diriku sendiri untuk mati. Jika ini tak berhasil, maka aku harus bunuh diri.

Kuarahkan langkahku pada persimpangan jalan buntu. Jika aku mengambil jalan lurus, aku bisa saja melompati tembok tinggi besar itu dan berakhir di tumpukan sampah-sampah daur ulang. Jika aku berbelok ke barat, aku akan bertemu dengan pusat kota yang tentunya akan membuat posisiku -sebagai buronan para preman itu- menjadi aman. Namun sebaliknya, jika aku memilih timur, maka sama saja aku bunuh diri karena di sanalah tempat dimana preman-preman itu bermarkas.

Sesuai dengan rencanaku, aku berbelok ke arah timur.

Mataku langsung mengarah pada sebuah papan yang bertuliskan "Boundery III Street". Berbeda dengan jalan di arah barat itu, jalan ini menyajikanku sebuah jalanan yang cukup lebar dan panjang dengan suasana mencekam di saat siang, namun menjadi hangat dan menyenangkan di kala malam. Di ujung jalan ini berdiri sebuah bangunan tinggi kokoh dan bercat hitam yang sangat terkenal di kalangan masyarakat kota hingga luar kota, terutama di kalangan penjudi-penjudi dan maniak kapitalis.

Black House

Tulisan besar itu bahkan sudah tertangkap mataku, membuatku muak dan semakin memiliki hasrat untuk membakarnya. Kutolehkan pandanganku pada ketiga botak yang belum terlihat berbelok ke jalan ini. Dengan segera kuarahkan langkahku pada sebuah gang sempit dan menutupi tubuhku dengan beberapa tumpukan kardus dan karung goni berisi botol-botol alkohol.

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang