Part 15 - Time

35 1 0
                                    

"Kau masih marah padaku?"

Suara Arkan memecah sunyi yang tercipta sejak mereka memulai perjalanan. Sekitar 10 menit waktu berlalu, yang terdengar dari Hanni hanya helaan napas yang terdengar frustrasi. Arkan sama sekali tidak bisa menebak apa yang tengah dipikirkan perempuan itu, selain mungkin rasa kesal karena ditinggal tadi.

"Aku kan sudah minta maaf," cetus Arkan lagi dengan nada lebih menyesal dari kata maaf sebelum-sebelumnya.

"Arkan," Hanni tiba-tiba memanggil lelaki yang tengah fokus menyetir sembari terkadang melirik sedikit-sedikit padanya.

"Hm?"

"Temanmu itu..." Hanni memotong ucapannya, membuat Arkan semakin mengantisipasi kalimat Hanni selanjutnya.

"... yang bernama Bomi. Aku seperti tidak asing dengan namanya. Kau bilang dia mengenalku, apa mungkin aku juga mengenalnya?"

Arkan menatap kilas Hanni yang berwajah serius. Perempuan itu tampak bertekad mengingat nama yang baginya tidak asing dalam memorinya.

"Kau benar-benar tidak punya teman atau kenalan bernama Bomi?" tanya lelaki itu penasaran.

Arkan sungguh tidak paham dengan hubungan Hanni dan Bomi. Jelas sekali Arkan melihat adanya benang merah yang sudah mengikat keduanya. Namun, kalau Hanni tidak mengenal Bomi, bagaimana benang itu bisa tercipta?

"Aku tidak tahu," gumam Hanni meragu. Ia merasa sangat dekat dengan nama itu, tapi ingatannya benar-benar kosong dan buntu. Hanya bayangan hitam yang melintas di dalam memorinya.

Mendadak rasa nyeri itu menjalar ke seluruh kepalanya. Bayang-bayang seseorang sekelebat berlarian dalam otaknya. Pandangannya mengabur diiringi dengungan nyaring pada gendang telinga.

Mendengar erangan Hanni, Arkan membagi fokusnya pada Hanni. Tangannya terulur memegang bahu kecil perempuan itu dan menepuk-nepuknya pelan, mencoba menyadarkan Hanni yang memegangi kepalanya dengan mata terpejam.

"Hanni, kau kenapa? Kepalamu sakit? Jangan terlalu keras mengingat."

Perempuan itu menghembuskan napas perlahan, mensugesti agar rasa sakit itu turut pergi bersamaan dengan udara yang ia hempaskan. Hanni menggeleng ringan.

"Aku tidak apa, hanya anemia biasa. Mungkin karena aku melewatkan makan siang," pungkas Hanni lirih.

"Oh, iya, kita tidak jadi makan di kafe tadi. Maafkan aku. Apa sebaiknya kau tidak pergi kerja hari ini dan pergi mencari sesuatu yang enak untuk dimakan?"

Hanni tertawa mendengar ocehan Arkan yang sangat terlihat gurat cemas.

"Hari ini sudah berapa kali aku menerima kata maaf darimu?"

"Ah, sudah banyak, ya?" Arkan salah tingkah menyadari dirinya yang seharian ini meminta maaf pada perempuan itu.

"Kau mencemaskanku karena benar cemas padaku atau hanya karena merasa bersalah tidak mengajakku makan?" tanya Hanni dengan tawanya yang setengah mati ia tahan.

Saat ini wajah Arkan benar-benar bingung dengan pertanyaan tiba-tiba Hanni.

"Jelas keduanya, kan? Aku cemas dan juga merasa bersalah."

Hanni agak kecewa dengan jawaban Arkan. Jika ia hanya menjawab 'cemas' dengan yakin, maka Hanni bisa memastikan kalau Arkan benar-benar sedang mendekatinya.

"Aku bisa makan di kantor. Pertemuan dengan editor ini sangat penting. Aku tidak bisa melewatkannya," ujar Hanni mengubah topik. Bibirnya kini sedikit mengerucut.

Ah, aku ini kenapa, sih?

Batin Hanni yang juga jadi sebal dengan dirinya sendiri lantaran mengharapkan hal yang aneh.

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang