Part 11 - Trigger

7 0 0
                                    

Kring...

"Maaf, kami sudah tu—"

Kalimat itu tertahan saat kedua mata Arkan mendapati sosok Bomi—yang terlihat payah—memasuki kafenya. Arkan, yang tengah merapikan kasir, segera meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Bomi yang masih bersandar pada pintu.

"Hey, kau kenapa?"

Bomi hanya menggeleng, menghiraukan gurat cemas yang jelas tercetak di wajah Arkan. Melihat kondisi lelaki itu, meski ia bungkam, Arkan dapat langsung mengambil kesimpulan kejadian apa yang menimpa kawan barunya.

"Preman itu lagi?"

Bomi masih diam. Ia mencoba menegapkan tubuhnya sambil sesekali menggeleng mengembalikan pandangannya yang sedikit buram karena hantaman pada pelipis.

"Kau duduk saja dulu. Aku ambilkan minum," ujar Arkan menitah Bomi lantaran lelaki itu terus bergeming.

Bomi menatap kilas Arkan sembari mengangguk, lalu menuruti perintah Arkan. Lelaki itu mengambil kursi yang tak jauh dari pintu dan mencoba menenangkan dirinya.

Tak lama, Arkan datang membawa secangkir teh hangat dengan aroma harum yang menenangkan. Bomi melongok ke dalam cangkir dan menemukan dua bunga kering di permukaan teh. Manik lelaki itu melirik skeptis ke arah Arkan.

"Itu teh chamomile. Aku tidak tahu kau kenapa, tapi kurasa kau butuh tidur lelap malam ini. Jadi, minumlah itu!" cetus Arkan sembari menyandarkan tubuh dan menyilangkan tangannya. Tatapan Bomi yang curiga membuatnya sedikit tersinggung.

Bomi menyeruput teh itu perlahan. Matanya membola begitu benda cair itu memenuhi mulut dan memasuki rongga kerongkongannya. Ia tak menyangka rasanya akan semanis aromanya. Ia pikir itu akan sepahit teh hijau yang ia benci.

Bomi menyukainya, tapi ia tidak mengatakan apapun.

"Aku tahu kau menyukainya hanya dengan melihat ekspresimu," celetuk Arkan mendapati Bomi yang terus saja menyesap cangkir itu dan menikmati teh chamomile buatannya, "kau kenapa jadi begini?"

Cangkir itu kembali ke atas meja, sementara Bomi masih tetap bergeming, membuat kesabaran Arkan menipis.

"Ah, ayolah! Kau datang ke sini bukan cuma untuk minta minum, kan? Aku akan membantumu!" seru Arkan membuat Bomi sedikit tersentak.

"Aku..." akhirnya Bomi membuka mulutnya, "memang cuma ingin minta minum."

Arkan yang sudah menyiapkan telinga, berdecak keras lantaran emosi, membuat Bomi menunduk.

"Maaf," lirih lelaki itu.

"Aku tidak mau mendengar maafmu. Aku penasaran dengan ceritamu," Arkan kembali merendahkan suaranya, "karena preman yang tempo hari mengejarmu itu?"

Kini Bomi mengangguk ringan.

"Jujur saja, bukannya aku suka ikut campur urusan hidup orang lain, tapi aku benar-benar penasaran kenapa seseorang seperti kau bisa terlibat dengan preman seperti itu?"

Bomi masih saja menatapnya lurus. Sumpah, tatapannya yang acuh tak acuh itu berhasil membuat Arkan merutuki lelaki itu dalam hati.

"Ya, itu hakmu mau cerita atau tidak. Kalau aku jadi kau pun aku akan tetap diam," ujar Arkan sarkas.

"Tolong jangan beritahu perempuan itu," gumam Bomi lirih.

"Perempuan itu? Maksudmu Hanni?"

Bomi diam, tapi dari sorot matanya mengatakan "ya".

"Kenapa?"

Lelaki itu menggeleng.

Sumpah! Bisa tidak kau berhenti menggunakan kepalamu sebagai jawaban?

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang