Part 6 - Inclination

14 0 0
                                    

Seorang laki-laki menatap pantulan bayang wajahnya di cermin besar itu. Tercetak jelas guratan ragu, bimbang, dan cemas di sana. Namun, dari sorot matanya masih menyisakan keberanian dan keinginan besar untuk memperbaiki semua kesalahannya. Lelaki itu benar-benar hilang arah.

"Aku tak pernah merasa sebahagia ini sejak waktu itu. Meski hanya melihat wajahnya, aku merasa bisa untuk bertahan hidup," gumam lelaki itu pada bayang dirinya di cermin, "apalagi saat bisa berbicara dengannya seperti tadi malam."

Bomi, lelaki itu, menjatuhkan pandangnya pada sebuah foto yang tertempel di sudut atas cermin. Dua wajah yang tersenyum terlihat sangat bahagia dan serasi. Membuatnya semakin tenggelam dalam kerinduan yang tak pernah surut.

"Apa aku sama sekali tak boleh menjadi egois?" gumamnya lagi.

Semua kata-kata Kayla menjadi lantunan mimpi buruk baginya. Terdengar tidak masuk akal, tapi ia juga tidak bisa mengelak, bahwa itu adalah benar.

"Aku hanya ingin mencintai dan memilikinya. Apa itu sebuah kesalahan?"

Di hadapan cermin yang memantulkan bayang dirinya, ia menunduk. Wajahnya semakin sendu dengan beberapa air mata yang tanpa sadar jatuh dari pelupuk mata. Saat ini, dirinya benar-benar sangat ingin bahagia.

***

"Kau mau mengatakan apa?" tanya Hanni mendesak lelaki di sampingnya itu.

"Sabar dong! Kita nikmatin dulu suasana sore," sahut Arkan ringan. Tubuhnya bersandar pada bangku taman dengan wajah yang menengadah pada langit. Tatapannya lepas menembak langit yang semakin membara.

"Aku bukan anak senja," celetuk Hanni yang diam-diam juga menikmati langit sore yang indah.

Waktu telah menunjukkan pukul 5.50 sore. Langit yang menjingga menjadi topangan bagi burung-burung yang terbang bergerombol menuju sangkar. Suaranya yang berdecit lirih seakan sedang bercerita mengenai apa saja yang berhasil mereka makan hari ini atau sekedar bercerita tentang hal aneh macam apa di dunia ini yang mereka temui.

Petang semakin menunjukkan pesonanya di antara juntaian pohon beringin dan sekat dahan cemara yang telah gundul. Langit memadupadankan warna oranye dan kuning dengan violet yang menjadikannya goresan bertinta merah yang membara, namun enggan untuk ditolak mata. Sampai di titik ini, Tuhan benar-benar memiliki selera yang bagus dalam menciptakan lukisan yang sempurna.

Sepasang sejoli, bukan, maksudnya kedua—yang katanya—kawan itu memilih duduk di bawah pohon cemara yang sudah tak berdaun, dan barangkali tidak pula bertuan; menikmati terpaan angin sore yang terasa sejuk.

Di sana, dalam kebisuan, keduanya merasa nyaman menikmati detik-detik matahari terbenam, yang mereka bahkan tidak tahu dimana letak matahari itu berada. Paling tidak mereka bisa menyaksikan langit yang perlahan mulai menghitam.

Arkan tersenyum ke arah langit, namun bola matanya melirik ke wajah Hanni yang mulai membaik lantaran dirinya telah menorehkan lipstick pada bibirnya. Arkan pun seketika dibuat kagum dengan benda itu. Pasalnya, dirinya—dulu hingga tadi siang—tak pernah mengerti mengapa wanita harus menggoreskan warna-warna make up pada wajahnya. Dan, kini setidaknya pandangannya itu sudah sedikit terbuka. Dirinya berjanji untuk tidak lagi protes dengan hakekat wanita yang suka lama bersolek.

Hanni yang menyadari tatapan itu, menolehkan wajahnya, membuat manik keduanya saling bersinggungan. Bertahan dalam waktu ini, Arkan tak mau melepas tatapannya pada bola mata Hanni, pun perempuan itu yang terus menatap dengan sorot bingung. Lelaki itu semakin tersenyum.

"Apa?" tanya Hanni sedikit dingin dan mata yang melotot. Namun, bagi Arkan justru terlihat seperti usaha Hanni yang sedang menyembunyikan salah tingkahnya. Menggemaskan.

"I have something for you," ujar Arkan dengan sebuah senyuman penuh arti, "kau pasti suka."

Hanni memberikan tatapan curiga.

Wah, ini pasti tidak benar, nih! Baru kenal sudah mau ngasih apa-apa. Apalagi maghrib-maghrib kayak gini!

Batin Hanni penuh sangsi.

"Kau pasti lagi berpikir yang jelek-jelek tentangku," imbuh Arkan sambil menyilangkan kakinya, "kalau kau negative-thinking dan ragu, yasudah. Tidak akan kuberikan BARANG yang PENTING ini untukmu."

Mendengar kata yang diberi penekanan oleh Arkan, membuat Hanni penasaran setengah mati barang apa yang dimaksud lelaki itu.

"Memangnya apa?" tanya Hanni pura-pura tak menaruh minat. Namun, sebenarnya dalam hati menyembunyikan desiran keingintahuan yang hampir membuncah.

"Kau tidak excited, tidak akan kuberikan," cetus Arkan terus menggoda Hanni sampai perempuan itu tampak kesal dan memukul keras lengannya.

"Kasih tahu sekarang, cepat!"

Arkan tersentak. Lengannya terasa cukup cenat-cenut karena pukulan perempuan itu. Arkan meringis dan menegakkan kembali duduknya.

"Aw, pukulanmu sakit banget! Harus kubalas!"

Arkan merenggangkan tangannya dan duduk menghadap Hanni yang agak kaget karena lelaki itu bersiap untuk balik memukulnya.

"Kau... tidak mungkin tega memukulku, kan?"

Baru saja Hanni mengatakan itu, seketika matanya refleks terpejam saat Arkan mengulurkan tangan dan menyentil pelan keningnya.

Rasanya tidak sakit memang, tapi entah mengapa sangat menyebalkan. Dirinya hendak membalas perbuatan lelaki itu dengan sentilan yang lebih keras. Namun, niatnya terlupakan begitu ia membuka mata dan mendapati sebuah cincin cantik dalam genggaman Arkan di hadapannya.

"Ta-da! Bukan sulap, bukan sihir, cincinya ketemu! Hebat kan?" seru Arkan heboh.

Tanpa memedulikan seruan Arkan, dengan sekejap, tangan gesit perempuan itu menyambar cincin itu dan menatapnya dengan penuh rasa syukur dan bahagia.

Lalu tak lama, untuk seper-sekian detik Arkan tertegun, mencoba menetralisir otak dan emosinya. Wajahnya mulai melunak dan merasa nyaman saat otaknya berhasil membaca bahwa sebuah pelukan itu tidaklah berbahaya baginya. Hanni memeluk Arkan dengan sangat erat, menenggelamkan wajah Arkan di bahunya yang kecil.

"Thank you so so so much Arkan! Aku benar-benar tidak tahu lagi akan bagaimana kalo tidak ada kamu."

Di sana senyum Hanni benar-benar merekah bagai bunga di musim semi. Semua bebannya hilang begitu saja. Mimpi buruk yang tadi malam mengganggu, sudah tidak ada lagi dalam bayang-bayangnya. Dirinya kini sudah tak memiliki keinginan untuk bersembunyi di langit.

Di sisi lain, lelaki itu mengangguk dengan senyuman yang juga tak kalah merekah dan terlihat hangat. Ditepuknya pelan punggung kecil Hanni sebagai tanda ungkapan 'sama-sama'. Arkan merasa dirinya sangat bahagia bisa membuat perempuan ini kembali tersenyum cerah. Terlebih ia mendapat sebuah pelukan yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan.

Hanya dengan membantu sedikit, Arkan sudah bisa melihat Hanni yang sangat bahagia seperti ini. Arkan merasa dirinya benar-benar berada di atas angin saat ini, dengan langit yang tanpa disadari sudah mulai menghitam.

"Senang bisa kembali melihat mata almond itu membara. Itu yang ingin kulihat sejak lama. Dan, kau semakin mengingatkanku pada orang itu, Hanni."

.

.

.

Semua Cerita akan menemui pemiliknya sendiri. Ia akan berjalan perlahan seperti air yang mengalir, meniti dengan penuh hati-hati emosi yang dibawa oleh pembacanya. Hingga ia meyakini bahwa mereka yang benar-benar 'mengerti' adalah pemiliknya. Karena bagaimanapun sang Penulislah yang paling mengerti keinginan dan emosi apa yang dirasakan si Cerita."

-Anonymous

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang