Part 16 - Dreams

19 1 0
                                    

Bomi POV

Wanita paruh baya itu menangis sejadi-jadinya di depan sebuah kamar. Kedua mata sendunya mengintip ke dalam kamar melalui jendela kecil pada pintu. Di sana, putri satu-satunya terbaring tak berdaya dengan berbagai selang dan mesin-mesin yang terlihat mengerikan. Hatinya tersayat. Ia tak pernah membayangkan hari kelam ini akan terjadi dalam hidupnya.

"Maafkan saya," suara lirih ini merintih dengan penuh rasa sesal. Semua luka yang kudapat sama sekali tak membekas dan tidak berhasil menyakitiku. Semuanya dikalahkan oleh rasa bersalah yang membuat lubang besar dalam hati ini.

Wanita itu menoleh. Wajah yang sembab, kelopak mata bengkak, pipi yang selalu basah karena air mata itu semakin menusuk-nusuk hatiku. Aku semakin menunduk, tak memiliki kuasa melihat patah hati seorang ibu lantaran menyaksikan anaknya yang tengah menderita.

"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan pada Hanni?" wanita itu merutuk. Tangannya memukul-mukul tubuhku tak tentu arah, sementara tangisnya semakin merintih.

"Saya tidak akan pernah bisa memaafkanmu!" tegas wanita itu. Suaranya menjadi rendah, semakin memberikan kesan bahwa hanya perasaan sakit dan dendam yang ia bawa saat ini.

"Kau tahu betapa bencinya Hanni padamu setelah tahu kau mencampakkannya seperti itu?"

Seluruh tubuhku bergetar. Air mata tak lagi bisa ditahan di ujung mata. Semua berlarian turun membasahi wajahku yang penuh perban. Mengetahui perempuan itu membenciku sungguh membuatku sangat menderita 1000 kali lipat. Tidak, Hanni sempat memaafkanku, tepat sebelum aku membuatnya seperti ini.

"Jangan pernah kau perlihatkan wajahmu pada Hanni lagi. Bahkan ketika ia bangun dan mencarimu, pergilah sejauh yang kau bisa!"

Mendengar ucapan itu, kuberanikan diri menatap dua mata sendu itu. Aku tidak bisa mengindahkan semua kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Tapi... saya sangat mencintai Hanni," lirihku meminta pengertiannya. Tidak bisa menemui Hanni adalah mimpi buruk bagiku dan aku tidak ingin terjebak di dalamnya.

"Cinta? Kau masih bisa berkata seperti itu? Kau pikir dengan cintamu itu bisa membangunkan anakku, hah?!" wanita itu memekik.

Ya, aku sudah menghancurkan dinding emosi yang dengan susah payah ia bangun. Wanita itu benar-benar benci mendengar diriku yang tanpa tahu malu masih mendeklarkan cintaku pada putrinya.

Benar, ibu mana yang akan merelakan putrinya dicintai oleh seseorang yang telah membuat putri yang sangat dicintainya menderita?

"Saya akan menjaga Hanni dengan seluruh hidup saya," ucapku sungguh-sungguh berharap bisa mendapatkan kepercayaan wanita itu.

"Apa yang mau kau jaga? Bagaimana caranya?" suara itu bergetar, membuatku tidak berani menjawab semua pertanyaannya.

Dan, aku tambah merasa bersalah lantaran menyadari semua ucapannya adalah benar. Tidak ada lagi yang bisa kujaga, juga kegagalanku menjaga perempuan itu.

Aku tidak memiliki apapun untuk membalas ucapannya.

"Jika kau bertukar posisi dengan putriku, aku akan memaafkanmu dan mengizinkanmu menjaga dia, bahkan seumur hidupmu."

Aku menatap lekat matanya. Dengan penuh keberanian kuajukan satu pintaku yang sangat ingin kulakukan saat ini.

"Kalau begitu, paling tidak izinkan saya untuk menemui dan melihat Hanni setiap hari selama dia berada di sini, meski hanya sebentar saja."

Jantungku berdebar puluhan kali lebih cepat saat mengatakan hal tidak tahu diri itu. Seperti yang kubayangkan, mendengar ucapanku, sontak membuat wanita itu semakin geram.

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang