Duk
Sesuatu menabrak keras bahu kiri Arkan dari belakang. Ia terhentak dan hampir tersungkur ke depan. Arkan mendongak, melihat siapa yang baru saja menabraknya. Padahal jelas sekali jalanan yang mereka lewati cukup lebar untuk bisa dilalui dua orang tanpa perlu bersinggungan bahu.
Namun, sosok berhoodie yang menabraknya itu sama sekali tidak memberikan respon apapun. Jangankan mengatakan maaf, untuk berhenti atau bahkan sekedar melihat korban pun sepertinya tidak terlintas di benak lelaki itu.
"Hey, Pak, Anda baru saja menabrak saya!" teriak Arkan menghentikan langkah lelaki berhoodie itu.
Lelaki itu menoleh sedikit. Dari sudut pandang Arkan, dia dapat melihat bahwa lelaki itu tidak hanya sekedar berhoodie, tapi juga menggunakan masker hitam yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Lelaki itu terlihat sangat aneh dan misterius. Membuat bulu kuduk Arkan berdiri. Namun, ia tetap memberanikan diri melabrak.
"Pa- paling tidak katakan maaf!"
Sial, kenapa jadi gagap?!
Rutuk Arkan pada dirinya sendiri.
Lelaki berhoodie itu berbalik. Dari jarak yang tidak begitu jauh, Arkan bisa melihat kilatan mata lelaki itu yang tajam.
Dengan penuh instingtif, Arkan mengambil satu langkah mundur ketika lelaki hoodie berjalan menghampirinya. Ia siap membuat ancang-ancang untuk lari dan berteriak sekeras mungkin apabila lelaki itu berani macam-macam dengan wajah tampan atau tubuhnya.
Lelaki itu menghampiri Arkan, lalu meraih pundaknya, sementara yang dipegang hanya membelalak terkejut. Tak lama, suara berat terdengar dari balik masker, membuatnya terdengar menjadi lebih menakutkan.
"Maaf, aku sedang buru-buru," ujar lelaki itu yang justru terdengar tulus.
Arkan membelalak, lalu mengangguk, meyakini bahwa lelaki itu tidak sengaja menabrak dirinya. Terlebih, tujuan utama dia adalah hanya mendapatkan kata maaf dari orang yang telah menabraknya.
Dirinya mengamati lekat-lekat lelaki yang berdiri di hadapannya itu. Lelaki itu memiliki tubuh yang lebih tinggi beberapa senti darinya dengan tubuh tegap dan sedikit agak kurus. Jika dilihat dari pakaian dan sepatu yang dikenakan, Arkan dapat menarik kesimpulan bahwa lelaki itu bukanlah orang tua yang pantas dipanggil Pak atau Om. Mungkin akan lebih sesuai dengan panggilan Brother. Arkan yakin lelaki itu seusia dengannya.
"Oke. Tapi lain kali tolong lebih hati-hati," pungkas Arkan. Lelaki itu mengangguk.
Menganggap urusannya telah selesai, lantas ia berbalik hendak meninggalkan Arkan. Namun, langkahnya terhenti lantaran Arkan menepuk pundak lelaki itu.
"Maaf, tapi sebelum pergi, apa kau tahu alamat ini dimana?" tanya Arkan sembari menyodorkan handphone-nya, "sudah hampir setengah jam mencari, tapi masih belum ketemu."
"Aku tidak tahu, maaf."
"Ah, ayolah! Aku tahu kau tahu tempat ini. Coba lihat dulu alamatnya," desak Arkan.
Lelaki itu menoleh dari balik hoodie-nya. Matanya was-was, lalu kembali berbalik menghadap Arkan yang tersenyum senang.
"Mana? Aku hanya akan melihat. Kalau tidak tahu, aku tidak akan menolong," tegas lelaki itu.
Arkan mengangguk, "baiklah, baiklah! Nih, kalau melihat map sih harusnya ada di sekitar sini. Tapi sudah 3 kali bolak-balik, tidak ketemu juga. Apa mungkin tempat in-"
Arkan bekernyit sesaat lelaki itu menghentikan ocehannya dengan isyarat telunjuk yang diletakkan di depan mulutnya-yang tersembunyi di balik masker. Tatapannya was-was menatap tajam ke belakang tubuh Arkan seakan mengawasi dan mengantisipasi sesuatu yang tiba-tiba muncul dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nice To Meet YOU
RomantizmPandangan Bomi memotret wajah cantik seorang perempuan yang tengah memandangnya dari kejauhan. Tanpa keduanya sadari, Tuhan sedang menuliskan cerita dari sebuah kehilangan. Setiap langkah lelaki itu menjadi awal bahagianya, dan juga rasa sakit. Namu...