Part 2 - Dizzy

17 0 0
                                    

"Ma, nggak bisa semudah itu."

Suara itu tegas menolak, tapi tetap mencoba terdengar lembut. Sementara wajahnya dibuat setenang mungkin. Ia tak ingin memberikan kesan menentang sosok ibu yang terduduk lemah di hadapannya.

"Kamu pikir ini yang Mama mau, Henno? Coba kasih tahu Mama apa yang lebih baik buat adik kamu selain keputusan Mama untuk pindah?"

Wanita berwajah letih itu mengeluarkan sisa-sisa tenaganya untuk meyakinkan putra sulungnya yang memang berkepala keras seperti dirinya. Matanya yang menyimpan sejuta air mata menatap lekat anak lelaki yang hanya bisa menunduk dengan helaan napas penuh resah.

"Bahkan Papa tak menyela apapun dan hanya mengangguk," lanjutnya parau, "saking tidak tahu harus bagaimana lagi."

Seorang Papa yang tegas sampai tidak berkutik dengan keputusan Mama? Apa memang harus begini?

Lelaki itu berpikir keras mencari jalan keluar alternatif yang lain, selain meninggalkan kota ini. Namun, nihil. Otaknya buntu. Dalam keadaan seperti ini, dirinya tidak bisa berpikir jernih. Lantas dengan berat hati, ia mengangguk—seperti yang dilakukan Papanya yang tegas—karena tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Siapkan barang-barangmu. Kita berangkat setelah urusan administrasi Hanni selesai."

Henno mengangguk. Setelah ia pikir-pikir kembali, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menentang apa yang menjadi keputusan orang tuanya. Semua tak berjalan baik. Di ujung kehancuran ini, bukankah lebih baik ia menurut dan mempermudah segala urusan?

Melihat keletihan Mamanya, ia juga tak mau menjadi beban pikiran tambahan untuk orang tuanya. Jika adiknya saat ini tengah berjuang, maka sebagai kakak laki-laki, ia juga harus turut berjuang. Lelaki itu mengalah, menahan sebentar ambisinya untuk mewujudkan cita-citanya di kota kelahirannya ini.

Hanni, ayo kita bertahan!

Mengingat Hanni, tiba-tiba dalam benaknya terbesit wajah muram Bomi saat bertemu terakhir kali di rumah sakit.

Pasti anak itu masih menyalahkan dirinya sendiri.

Benar, sebagai seorang kakak, yang harus Henno lakukan untuk bisa membantu adik perempuannya bertahan adalah dengan menemui orang terkasih adiknya itu. Menyampaikan pesan yang mungkin sangat ingin disampaikan adiknya, bahwa semua akan baik-baik saja dan mereka—Hanni dan Bomi—akan kembali bersama.

"Oh, satu lagi, Henno. Jangan sekalipun kamu menghubungi anak itu!"

Henno tertegun. Apakah perasaan sensitif dan posesif seorang ibu dapat menembus pikiran seseorang?

Henno hanya bergumam mematuhi pinta Mama dan berbisik dalam hati dengan penuh rasa bersalah.

Maaf, aku tidak bisa berbuat banyak sebagai seorang kakak. Kuharap kau tetap menunggu hingga Hanni kembali, Bomi.

***

Wajah merengut itu kembali hadir, tapi kini lengkap dengan air hujan yang membasahi wajah dan tubuh perempuan itu. Setelah kepergiannya sekitar 10 menit, Hanni berjalan menuju mejanya sembari menggerutu.

Menyebalkan! Padahal itu kesempatan emas untuk bisa kenalan dengannya.

Batin perempuan itu licik.

Hanni tak berhenti merutuk dalam hati. Pasalnya, ia sudah berlari secepat mungkin menuju parkiran yang jaraknya lumayan jauh hingga tubuhnya direlakan menerobos hujan. Bahkan, ia mencoba tetap berlari kecil meski high heels 5 cm dan jalanan licin menyulitkannya untuk bisa menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Namun, lelaki itu tidak menggubrisnya sama sekali dan terus melajukan motornya membelah hujan.

Nice To Meet YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang