01 : Manis

18.2K 401 2
                                    

Mata Anin membulat sempurna mendapati Dosen galak yang sedang ia bicarakan itu ada di rumahnya, sedang makan malam bersama dia dan keluarganya. 

"Makanya kalo bikin tugas itu jangan kebut semalam, tugas gak di terima kok nyalahin dosen" jawab Abraham dengan tatapan tajam ke arah Anin. 

Gadis itu menaham malu setengah mati, karena dia membicarakan Abraham di hadapannya dan bisa-bisanya Anin tidak menyadari keberadaan Abraham, sedari tadi.

"Bapak juga kalo ngasih tugas kira-kira dong pak. Mahasiswa juga kan manusia" Jawab Anin malas.

"Auto E ya nilai kamu di mata kuliah saya!" jawab Abraham dengan tatapan yang sama.

"Kok?" tanya Anin bingung.

"Karena kamu gosipin saya" balasnya,

"Bapak gak bisa gitu dong!",

"Bisa karena saya yang atur nilai kamu!",

"Bapak tidak ber-pri-ke-mahasiswa-an!" seru Anin. 

Abraham mengulum senyumnya, ia gemas melihat ekspresi Anin sekarang. Selama hampir 10 menit, Anin dan Abra terus berdebat soal Nilai dan Tugas.

"Kayanya kita mending pindah kedepan aja kali ya? Gak baik juga kan debat di depan makanan" tanya Frans, Ayah Abraham.

"Iya betul, ayo Frans. Kita pindah aja" Ujar Derrel seraya merangkul bahu sahabatnya.

Kini mereka semua sudah berada di ruang tamu rumah Anin. Gadis itu duduk berhadapan dengan Abraham yang masih menatapnya tajam. Derrel dan Frans membicarakan perkembangan bisnis di Indonesia, Karin dan Fatma membicarakan soal perintilan pernikahan. Anin bingung berada di posisi ini. Gadis itu hanya duduk seraya di perhatikan oleh Abraham.

"Jadi gimana nih kelanjutannya obrolan kita yang tadi?" Tanya Frans ramah dengan senyuman hangat, Anin diam karena merasa tidak mengerti dengan yang kedua keluarga ini bicarakan.

"Gimana Nin?" tanya Karin menatap Anak bungsunya.

"Kok Anin mah?" tanya Anin semakin bingung.

"Anin, gini ya, sebetulnya kedatangan kita kesini itu untuk menjodohkan kamu dengan anak tante, Nin" Kali ini Fatma ikut buka suara, sementara Derrel hanya bertanya melalui isyarat kepada putri bungsunya.

"Emang siapa yang mau di jodohin sama Anin? Masa pak Abraham? gak mungkin pak Abraham kan?" tanya Anin polos.

"Emang kenapa kalo saya?" tanya Abraham. Lagi-lagi Anin dibuat terkejut oleh Dosennya yang satu ini. Anin merasa canggung di situasi ini.

"Bapak kan udah tua pak!" Seru Anin. 

Abraham yang tak terima lantas melotot ke arah Mahasiswinya itu. Saat hendak protes, tiba-tiba saja Derrel bersuara. "Gini deh, kita keruang tv dulu, kalian ngobrol disini aja ya, siapa tau Anin bisa jawab kalo udah ngobrol berdua sama Abra" ujar Derrel seraya bangkit dari duduknya dan diikuti oleh para orang tua.

"Kok bapak gak nolak sih?" Seloroh Anin saat para orang tua sudah di ruangan TV.

"Kenapa saya harus nolak?" tanya Abraham seraya menatap mata indah milik Anin, tatapannya kita berbeda dengan tatapan beberapa waktu lalu, tatapannya kini lebih tulus dengan sebuah senyuman hangat yang baru pertama kali Anin lihat terbit di wajah tampan Dosennya itu.

"Bapak kan umurnya 30 tahun, sementara saya masih 18 tahun. Kita beda 12 tahun pak" Jawab Anin. "Lagian bapak seumuran sama abang saya loh, ya kali saya nikah sama yang seumuran sama abang?"

"ya, terus?" tanya Abraham, keningnya mengkerut.

"umur kita tuh beda jauh pak Abraham, emang bapak gak malu kalo di katain pedofil?" jawab Anin lagi, Abraham diam tak menjawab dia hanya menatap lurus ke arah Anin. "Saya gak siap nikah loh pak!" ujar Anin lagi, berusaha supaya dosennya ini membatalkan perjodohan ini.

Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang