04 : Jadi, nikah?

16.5K 280 1
                                    

"Abraham ada di dalem?" tanya Frans pada Maya yang sedang menikmati kopi di ruangannya. 

"Ada pak, dengan calon istrinya. Tapi, tadi bapak minta untuk tidak di ganggu waktunya" jawab Maya, sopan. 

"Makasih" jawab Frans.

Keempat orang tua itu berjalan ke arah ruangan Abraham lantas mengetuk beberapa kali, karena tanpa jawaban, akhirnya Frans membuka pintu itu perlahan. Keduanya sedang berpelukan. 

"Anin, Kamu mau jadi istri saya gak?" tanya Abraham, Anin mengangguk seraya tersenyum dalam dekapan Abraham. 

"Serius, mau?" tanya Abraham seraya melepaskan pelukannya dan menatap kedalam mata Anin, gadis itu kemudian tersenyum dan kembali mengangguk 

"Iya, mau pak" jawab Anin. Abraham memeluk Anin lagi, dan beberapa kali mengucap terimakasih. Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada beberapa pasang mata yang menatap ke arah mereka dengan mengembangkan senyumnya.

"Jadi, nikah nih?" tanya sebuah suara bariton dari arah pintu.

Anin dan Abraham menengok tanpa melepaskan pelukannya. Disana ada Derrel, Karin, Frans dan Fatma. Anin tersenyum manis lalu menyembunyikan mukanya di dada bindang Abraham tanpa melepaskan pelukannya, sementara Abraham di buat salah tingkah karena tingkah Anin yang enggan melepas pelukan itu. Kedua pasangan orang tua itu kemudian masuk kedalam ruangan Abraham dan duduk di sofa, di luar sana, Maya memperhatikan Anin dan Abraham.

"Kok pintunya ngebuka sih?" tanya Anin pada Abraham, 

"saya juga gak tau" jawab Abraham. 

"Saya malu, pak!" jawab Anin, Abraham hanya terkekeh mendengar protesan Anin. 

"Kalo mau pelukan, dikunci" jawab Frans. 

"Janganlah kalo sebelum nikah. Kalo di kunci kebobolan ntar anak gue!" protes Derrel. 

Frans terkekeh lantas kembali bertanya, "Gimana?". 

"Iya, Anin mau nikah sama pak Abraham" ujar Anin lalu tersenyum manis.

Fatma tak henti-hentinya berterimakasih kepada Anin karena mau menerima anak semata wayangnya. Karin terharu dengan curahan rasa sayang dan terimakasih dari Fatma kepada Anin, diam-diam dia mensyukuri kalau ternyata calon besannya sangat menyayangi anak bungsunya. Setelah pembahasan pernikahan, akhirnya keluarga Derrel pamit untuk pulang dan sudah di putuskan kalau mereka akan menikah hari minggu, minggu depan, terhitung masih ada sekitar Dua belas hari lagi untuk mempersiapkan segalanya. Anin pulang bersama Abraham, karena lelaki itu ingin mengajak Anin bertemu dengan teman-temannya sebelum menikah.

Cafe Lopika, tempat yang mereka tuju. Saat mereka sudah berada disana, dari luar Abraham sudah dapat melihat beberapa temannya yang ada di dalam sana. Mereka terlihat sedang bercengkrama. Anin sedang merapikan penampilannya, tadi ia sempat menolak untuk ikut, ia ingin teman-teman Abraham mengenalnya setelah menikah, namun Abraham ingin memperkenalkannya hari ini juga. 

"Sudah cantik, sayang" ujar Abraham, pergekaran tangan Anin berhenti saat Abraham memanggilnya dengan sebutan sayang. 

"Sudah cantik kok, bajunya bagus, rambutnya bagus, riasannya natural" ujar Abraham seraya menilai Anin dari atas sampai bawah, 

"Ah, sempurna deh!" seru Abraham seraya tersenyum tulus. Anin tersenyum kearah Abraham lantas menerima uluran tangan Abraham, mereka berjalan berdampingan seraya bergandengan. Memasuki Cafe, teman-teman Abraham melambai, memberi isyarat untuk mereka mendekat kesana.

"Ab, sama siapa?" tanya seorang lelaki dengan setelan kantornya. Sepasang lelaki dan wanita yang duduk memunggungi Anin, tiba-tiba saja berbalik. 

"Nin?" tanya Harridh saat melihat adik bungsunya. 

Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang