RC - 03

1.3K 148 7
                                    

♡ Votes dulu ya, sebelum membaca.

♡ Happy reading. ♡

○○○○○○

"Sorry gue telat." Nares baru keluar dari lift dan langsung berjalan ke private room. Ia akhirnya menyusul ke kafe The Soccer yang bernuansa sepak bola, milik Aldo, sahabatnya. Suara pengunjung yang sedang menonton siaran live Piala Dunia di lantai dua, terdengar riuh sampai ke lantai tiga.

Dengan wajah kusut, ia melempar begitu saja map berisi foto Clarissa ke atas meja. Beruntung tepat sasaran dan tidak nyasar ke wajah Aldo atau pun Gandy.

"Perempuan mana lagi nih, yang mau dijodohin?" Gandy tanpa merasa berdosa, tersenyum lebar. Menertawai Nares yang datang dengan wajah asam. Persis seperti buah mangga muda yang disukai ibu hamil.

"Namanya Clarissa. Cucu dari sahabat Kakek gue." Nares sama sekali tidak terdengar antusias.

Aldo mengambil beberapa lembar kertas dam foto dari dalam map yang dibawa Nares. "Wuih. Kece kayak gini, mau Lo tolak? Kenalan dululah. Siapa tahu emang jodoh Lo." Aldo menyenggol bahu Nares yang langsung melambaikan tangan ke arah pramusaji berwajah rupawan yang sudah menanti di sudut pintu. Ia memesan jus sirsak untuk meredakan isi kepalanya yang berasap.

"Main-mainin dulu, nggak papa kali ya." Tiba-tiba saja ide yang menurut Nares brilian itu, terlintas di benaknya.

Gandy hanya geleng kepala melihat sikap Nares yang tidak pernah bisa serius dengan perempuan. Sebentar kemudian gawai milik Gandy berdering. Raut wajah lelaki itu berubah dari santai menjadi tegang.

"Gimana, Son? Lo urus masalah itu aja nggak beres, sampai gue harus ikut turun tangan? Warga masih demo? Lo harusnya pegang tokoh di sana, buat nenangin mereka. Kasih duit. Kurang duit yang gue kirim kemarin?" Gandy menutup telepon sambil bersungut kesal.

"Ada masalah serius?" Nares melihat bukan hanya dirinya saja yang sedang bertanduk, tapi menular juga ke Gandy.
Baru saja Gandy menutup telepon dengan wajah merah padam.

"Res, Lo ada kerjaan nggak? Hari ini sampai besok." Tatapan Gandy langsung tertuju ke Nares.

"Untuk saat ini belum. Kenapa? Ada masalah sama proyek Lo?"

Tebakan Nares tidak meleset. Gandy memang pernah cerita, kalau ia sedang membuka cabang pabrik tekstil barunya di desa Bumi Jati. Ia diberi kepercayaan oleh papanya. Selama ini ia memang tidak pernah terjun langsung ke lapangan dan selalu mengandalkan Soni, sepupunya. Ia paling malas bertemu masyarakat menengah ke bawah dengan pendidikan rendah.

"Sony barusan kasih kabar. Ia kewalahan karena masih ada warga yang menolak menjual tanahnya untuk perluasan area pabrik. Sekarang mereka pakai isu pencemaran lingkungan. Banyak ikan mati di sungai dan warga yang minum dari sana, katanya. Ada-ada aja, kan? Pabrik udah jalan enam bulan dan aman-aman aja. Sekarang katanya bikin air jadi beracun." Gandy meneguk habis minuman bersoda putih, hingga kerongkongannya terasa sedikit panas.

Sony jadi tangan kanan Gandy, mengurus lobi dengan pihak ketiga. Biasanya Sony selalu bisa diandalkan dan tidak pernah ada masalah berarti. Kecuali hari ini. Padahal gaji sudah diberi Gandy, hingga dua digit.

"Lo mau ikut gue? Gue butuh teman diskusi." Gandy berdiri menggulung lengan kemeja slimfitnya hingga ke siku. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dari dompet dan memberikan kode ke pramusaji yang masih berdiri di ruangan.

Entah tadi namanya Donna atau Bella. Gandy pengingat nama perempuan yang buruk. Meskipun ia akui, semua pramusaji di kafe milik Aldo, cantik-cantik. Saking cantiknya sampai wajah mereka terlihat mirip semua.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang