RC - 07

907 134 8
                                    

Safira tidak mengerti mengapa dia mengizinkan lelaki asing seperti Nares, membawa putrinya, Sekar, ke salah satu rumah sakit di pusat kota. Letaknya cukup jauh, namun jauh di dalam hatinya dia seperti melihat sosok mendiang suaminya yang selalu membawa Sekar kecil, berobat ke tempat terbaik saat putrinya sakit.

Meskipun hidup mereka terbilang sederhana, tapi kesehatan dan pendidikan selalu menjadi prioritas Safira dan sang suami.

Muncul perasaan haru  dalam hati Safira saat menatap diam-diam Nares yang duduk di sampingnya. Lelaki ini terlihat terpelajar, tenang. Sesekali pandangannya menatap layar ponsel.

Sekar sudah selesai menjalani pemeriksaan CT Scan dan sedang beristirahat di dalam IGD. Mereka menunggu hasil bacaan untuk nantinya berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter. Dokter baru saja memberi Sekar obat pereda nyeri dari infus, sehingga gadis itu mengantuk dan kini tertidur pulas.

"Maaf sudah merepotkan. Sampai jauh-jauh ke kota." Safira lebih dulu mengungkapkan terima kasihnya dengan cara lain.

"Ini sudah jadi bagian tanggung jawab pabrik Nirwana Garmen, Bu. Saya ingin memastikan tidak ada hal serius yang terjadi pada Sekar." Nares tersenyum tipis.

"Apa Mas Nares yang punya pabrik? Jarang sekali bos besar mau turun langsung mengurusi masalah seperti ini."

Nares tidak ingin berbohong. Tapi ia sedang mencari padanan kata yang pas agar Safira tidak salah paham dengannya.

"Gandy, pemilik Nirwana Garmen adalah sahabat saya, Bu. Kami datang dari Jakarta karena ada demo warga di pabrik. Dia mencari win win solution."

"Oh, begitu ya." Safira mengeluarkan tumbler dari dalam tas. "Saya tadi bikin teh hangat dari rumah. Silahkan kalau mau diminum."

Nares tertegun. Ia menangkap pancaran keibuan dari wajah Safira. Tiba-tiba saja ia merindukan sosok mamanya yang sudah tiada.

"Terima kasih, Bu. Minumannya untuk Sekar saja." Tiba-tiba saja ingatan Nares melayang saat Sekar pertama kali bertemu dengannya. Gadis itu minum seperti orang kehausan yang habis bertapa tiga hari tiga malam.

"Sekar putri saya satu-satunya. Dia yang menjadi poros hidup saya saat ini. Saya menyesal tidak bisa menjaga dia seperti pesan almarhum ayahnya."

"Ayahnya Sekar sudah wafat?" Nares terkejut. Ia baru tahu kalau Sekar anak yatim.

"Ayahnya Sekar wafat di tempat karena kecelakaan. Dokter Sultan yang menemukan jasad suami saya. Sekarang dokter Sultan sudah kembali ke Jakarta karena hanya bertugas satu tahun di desa kami."

Ah. Sekarang Nares mulai dapat membaca arah hubungan Sekar dan dokter Sultan.

"Oh. Dokter Sultan yang pacarnya Sekar itu ya Bu?" Kedua manik Nares berkilat penuh rasa ingin tahu.

Kening Safira berkerut. "Setahu saya mereka nggak pacaran. Saya sering menasihati dia untuk menjaga pergaulan."

Ganti Safira tersenyum. "Alasan kenapa saya protektif sama Sekar, karena beberapa temannya ada yang hamil sebelum menikah. Sekar yang tidak tahu. Yang dia tahu, satu per satu teman-temannya menikah, lalu pergi dari desa. Padahal menyimpan kehamilannya supaya tidak dikucilkan warga."

"Oh. Baik Bu, saya mengerti." Nares mengangguk. 

Tersengar suara petugas IGD dari speaker terdengar memanggil keluarga Nona Sekar. Bergegas Safira beranjak dari tempat duduk. "Hasil CT Scannya Sekar sepertinya sudah keluar."

Tiba-tiba saja kedua kaki Nares seperti terpaku di lantai. Permukaan kulitnya meremang dan mulai muncul rasa penyesalan. Gandy benar. Ia melibatkan diri terlalu jauh terhadap urusan Sekar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang