RC 20

1.1K 129 23
                                    

"Kau seperti sang rembulan,
Sedangkan aku sang matahari.
Begitu sulit kita saling bertemu,
Namun pantulan sinarkulah yang membuatmu bercahaya."

°°°°°

Dokumen MOU dengan petani desa Bumi Jati masih tergeletak di atas meja. Seharusnya Nares tidak perlu membawa pekerjaan ke kamar. Tapi ia ingin membaca ulang kalau-kalau masih ada poin yang tidak sesuai. Di samping dokumen, ada berkas pemeriksaan medical check up untuk dirinya dan juga untuk Sekar.

Lucu. Sekarang nasib seperti sedang menertawainya. Ia sungguh-sungguh ingin membuktikan kalau dia sehat lahir batin untuk menjadi seorang suami. Tapi sebelum menikah, ia justru mendapatkan pengkhianatan.

Clarissa dan Sekar sama saja. Dua-duanya perempuan murahan. Yang satu terang-terangan menggadaikan diri ke mantan kekasihnya. Yang satu mencari pria lain berkantong tebal dan memiliki status sosial tinggi di masyarakat.

Ucapan Sekar terngiang di telinga Nares seperti jalinan pita kaset rusak. Semakin diulang, semakin membuatnya pusing. Sekar ingin menikah dengan lelaki yang bisa membimbing dia dan anak-anaknya ke jalan yang baik. Melihat bagaimana gadis itu berproses sampai memakai hijab, mungkin Nares tidak pernah bisa jadi imam yang baik untuknya.

Baru ia sadar, sejak awal bukan ia yang sedang bermain-main dengan Sekar. Tapi gadis itulah yang bermain-main dengan perasaannya. Ponsel miliknya bergetar. Nares sengaja mematikan nada dering agar tidak mengganggu ketenangannya malam ini. Malam ini ia hanya ingin menikmati kesendirian.

"Assalaamu'alaikum. Res, ini gue. Lutfi."

"Wa'alaikumsalam."

Antara dirinya dengan dokter Lutfi sudah layaknya teman sebaya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Mereka pertama kali bertemu di acara charity perusahaan saat menggelar bakti sosial dan sejak itulah Nares meminta Lutfi menjadi dokter di klinik kantor.

"Gue ganggu nggak? Dari tadi siang gue chat, tapi belum Lo bales."

"Sorry. Gue dari tadi sibuk." Nares memang jarang membuka kotak pesan, selain urusan pekerjaan. Ia baru membuka pesan lain di malam hari.

"Klinik sudah selesai renov dan rencana buka minggu depan. Gue dikasih Army nama-nama karyawan baru yang akan kerja di klinik. Tapi background pekerjaan mereka banyak yang nggak relate. Cuma ada Sekar dengan pengalaman kerjanya yang juga minim. Kalau Lo izinin, gue mau ajak Indri, Safa dan Wildan anak klinik gue buat kerja di kantor Lo. Sekalian mereka bisa ngajarin Sekar."

"Sekar. Dia ngajuin resign, Fi." Nares terdengar tidak bersemangat.

"What? Kenapa? Belum juga kerja sebulan. Apa karena dayang-dayang Lo ngebully dia? Bu Popon dan Mbak Yuli cerita ke gue. Nggak ada yang mau jadi temannya Sekar karena ada yang ngancam dia. Lo sebagai Bos, harusnya cari tahu berita yang bener dulu."

Nares sedang malas mendengar nasihat Lutfi. "Biarin aja kalau dia mau resign. Yang penting dia bayar pinalti biar perusahaan gue nggak rugi udah gaji dia."

"Res. Lo kenapa sih kayak emosi banget sama dia? Semua bukan urusan gue ya, sebenarnya. Tapi karena sekarang Sekar kerja di klinik kantor Lo dan gue penanggung jawabnya, gue yang akan ngurus dia."

Nares memijat keningnya yang pening. "Nggak perlu. Gue nggak akan nahan-nahan orang yang memang nggak mau kerja."

"Kalau dia emang nggak mau kerja, terus ngapain Lo terima?" Lutfi mencecar karena dia sudah keburu senang mendapat anak buah baru di klinik.

"Alasan awalnya... Karena gue butuh dia buat jadi calon istri gue. Gue nggak mau tunangan sama Clarissa."

"What the.... Alasan gila macam apa lagi yang Lo omongin, Res? Jadi Sekar nggak murni masuk perusahaan Lo, tapi Lo yang menjebak dia? Lo kayaknya benar-benar sakit, Res. Sini gue kasih obat suntik." Lutfi malah ngakak di seberang. Ia tahu ucapannya akan semakin membuat Nares berang.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang