RC 12

935 125 31
                                    

🌷 Adakah yang kangen sama dokter Sultan?

🌷 Atau kangen sama Pak Nares?

🌷 Atau gemes sama Sekar yang masih bingung dilamar dokter ganteng?

Inhale... Exhale... VOTES ☆☆☆ dulu dan komen yang banyak di part ini ya 

°°°°°

Suara panjang pluit di peron stasiun kereta, menandakan kereta yang ditumpangi Sekar perlahan meninggalkan tanah kelahirannya. Menandai keinginan terpendamnya ke Jakarta adalah bertemu kakek Bram. Selain mimpi lainnya untuk menjadi orang yang lebih sukses dari sekarang.

Dari seberang kaca jendela, tampak wajah tegar bunda dan lambaian tangan beliau mengiringi kepergian Sekar. Bun, maafkan Sekar. Sekar ingin bertemu Kakek dan ingin tahu alasan beliau membenci keluarga kita selama ini.

Ponsel milik Sekar berdering. Nama Dea tampak di layar. Sekar menghela napas panjang. Dia sudah lama mengenal Dea dan baru kali ini pertengkaran mereka lebih dari tiga hari. Kadang dia merasa lelah dengan sikap Dea yang suka maunya sendiri.

"Assalaamu'alaikum." Sekar menjaga nada suaranya. Dia sendiri tidak tahu kenapa Dea marah dan tidak mau membalas pesannya. Apalagi mengangkat telepon.

"Wa'alaikumsalam. Tadi aku mampir ke rumah kamu. Kata Bu Yatmi, tetangga sebelah rumah. Kamu sudah berangkat pagi-pagi ke stasiun."

"Aku sedang perjalanan ke Jakarta." Sekar menjawab seperlunya.

"Apa perusahaan itu benar-benar memanggil kamu untuk interview?" Suara Dea terdengar seperti orang yang habis menangis.

"Ya. Tapi aku ke Jakarta bukan untuk itu saja. Aku punya alasan lain yang nggak bisa diceritain ke kamu." 

"Apa kamu akan menikah dengan dokter Sultan? Aku... Aku benar-benar patah hati melihat kalian berdua." Kali ini suara Dea benar-benar parau.

Sekar tertegun. "Dea, kamu... Suka sama dokter Sultan?"

"Aku suka pun rasanya sekarang percuma. Perasaan aku sudah bertepuk sebelah tangan."

Sekar tertegun. Selama ini dia tidak menyadari kalau Dea memiliki perasaan khusus ke lelaki yang justru melamar dirinya.

"Aku marah sama diriku sendiri, karena nggak bisa jadi perempuan seperti kamu yang disukai dokter Sultan. Kamu aja yang bodoh, nggak pernah sadar kalau selama ini dokter Sultan beri perhatian lebih."

Sekar jatuh bimbang mendengar ucapan Dea. Dia menyandarkan punggung ke kursi kereta yang berjalan menyusuri rel.

Pemandangan tepi pantai yang baru saja terlewati, tampak di balik kaca. Namun kembali lagi ke pantulan wajahnya dan pertanyaan dokter Sultan semalam yang terdengar antusias saat tahu dirinya akan pergi ke Jakarta.

"Aku nggak suka kamu panggil bodoh." Sekar jadi kesal.

"Kamu memang perempuan beruntung, tapi bodoh masalah cinta. Aku menelepon bukan untuk meminta maaf, tapi untuk menasihati kamu. Jangan sampai kamu salah memilih laki-laki yang akan jadi pasanganmu. Jangan sampai hati kamu buta melihat dokter Sultan dan silau karena kekayaannya, padahal belum tentu dia jodoh kamu."

Sekar benar-benar tidak mengerti. "Terima kasih untuk nasihatnya, tapi aku ngantuk. Mau tidur. Assalaamu'alaikum." Sekar menutup telepon lebih dulu. Dea tidak minta maaf, tapi malah memberinya nasihat panjang lebar seolah lebih pengalaman soal cinta dari dirinya.

Cepat Sekar beristighfar. Dia bukan lagi Sekar yang dulu. Bukankah dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Bayangan wajah di depan kaca jendela kereta, mengingatkan gadis itu untuk lebih banyak bersabar.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang