RC 09

897 125 17
                                    

Safira sudah tertidur ketika Sekar masuk ke dalam kamar. Tidak ada pendingin ruangan seperti di kota, karena hawa sejuk sudah berhembus dari pepohonan di pekarangan rumah. Ammar, Ayah Sekar menyukai dunia pertanian sejak masih kecil. Tidak mengherankan bila suasana rumah peninggalan Ammar, terlihat hijau dengan pohon buah-buahan rimbun yang berdiri kokoh.

Begitu Sekar menutup pintu kamar, ponsel yang sedari tadi dia simpan di meja ruang tamu, kini tidak berhenti berdering. Sekar berjalan cepat karena khawatir bundanya akan terbangun. Dengan sedikit gemetar dia mengangkat telepon dari lelaki yang membelikannya ponsel itu.

Dokter Sultan.

"Halo, assalaamu'alaikum."

Seluruh perasaan senang dan gugup berbaur jadi satu, saat Sekar mendengar suara bariton di seberang. Seolah satu tahun lamanya mereka tidak pernah bertemu. Padahal kenyataannya mereka baru berpisah sebentar saja. Salahkah jika ia merindukan lelaki ini.

"Wa'alaikumsalam." Lirih Sekar menjawab. Nada suaranya sedikit gemetar.

"Akhirnya saya bisa dengar suara kamu lagi, Sekar. Kamu bagaimana kabarnya? Apa kamu baik-baik saja? Saya telepon ke nomor kamu, tapi yang angkat cowok. Namanya Nares. Apa dia yang menyebabkan kamu mengalami kecelakaan di pabrik? Ya Tuhan. Saya benar-benar ingin ke sana sekarang juga. Ketemu kamu. Tapi situasi yang tidak mengizinkan."

Suara dokter Sultan menggambarkan rasa khawatir yang terbayar sudah ketika Sekar menjawab panggilannya.
Sungguh Sekar merasakan hal yang sama. Di saat dia ingin tahu kabar dari lelaki yang dikaguminya, tapi dia tidak mampu melakukannya.

"Alhamdulillah saya baik-baik aja, Dok. Tadi sudah ke RS untuk CT Scan kepala. Diantar sama Pak Nares. Tapi ada kejadian nggak enak. Saya dan Bunda seperti punya hutang budi sama dia."

Terdengar suara dokter Sultan menggeram di seberang. "Saya nggak suka kamu dekat sama Nares. Meskipun saya nggak kenal dia, tapi saya punya intuisi kalau dia bukan orang baik. Lebih baik kamu jauhi dia."

Sekar mengiyakan. Daripada dokter Sultan mengkhawatirkan hal yang tak perlu tentang dirinya. Lebih baik dia yang ganti bertanya.

"Dokter nggak usah khawatir sama saya. Saya sehat dan kuat kok. Dokter sendiri kabarnya gimana? Apa sudah jadi mengurus sekolah seperti yang dulu Dokter pernah ceritain ke saya?"

Suara helaan napas menjawab pertanyaan Sekar. "Saya bukan lagi pemilik klinik dan kamu bukan lagi karyawan saya Sekar. Saya lebih suka kamu panggil Mas daripada Dokter."

"Tapi tetap aja nggak sopan. Dokter Sultan jauh lebih tua dari saya." Protes Sekar.

"Apa panggilan Mas kedengeran nggak sopan? Saya lebih suka kamu panggil saya seperti itu. Jadi jarak di antara kita tidak jauh. Saya... sayang sama kamu Sekar. Bukan sebagai kakak ke adiknya. Tapi sebagai laki-laki dewasa ke seorang perempuan."

Jemari tangan Sekar yang sedang memegang ponsel, mendadak gemetar. Sungguh dia tidak pernah siap dengan pengakuan lelaki di seberang sana.

"Maksud Dokter?"

"Saya nggak bisa tidur di sini, karena memikirkan kamu, sejak berita kericuhan pabrik di desa kamu, muncul di tivi. Saya baru sadar, kalau saya terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaan ke kamu, Sekar. Saya menyukai kamu, Sekar. Saya merasa lemah jika jauh dengan kamu."

Sekar menelan ludah. Jujur hati kecilnya juga menyukai dokter Sultan. Perkataan sayang dari lelaki ini barusan, sudah membuat hatinya berbunga-bunga. Ternyata perasaannya bersambut, meski terasa terlambat karena mereka kini berbatas jarak dan waktu.

"Saya mohon sama kamu, Sekar. Ikut saya ke Jakarta. Saya ingin mengenalkan kamu ke keluarga saya. Saya ingin mereka tahu kalau saya bisa menentukan pilihan hidup sendiri. Tidak melulu harus diatur untuk jadi seperti mereka."

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang