RC 15

967 123 21
                                    

"Kau seperti cahaya dalam gelap,
dan aku yang akan setia menjadi bayangannya."

°°°°°

Mobil milik Sultan masih terparkir di depan kafe The Soccer. Setelah satu tahun lebih tidak pernah pulang ke Jakarta, akhirnya ia memutuskan untuk kembali. Ia sudah janji bertemu Lutfi. Mungkin jadi satu-satunya teman akrab di kampus yang ia punya.

Sejak dulu Sultan hanya punya beberapa teman dekat. Kepergiannya merantau ke desa terpencil bernama Bumi Jati, tidak lepas dari dukungan Lutfi.

Kafe yang ia kunjungi adalah milik Aldo, salah satu sahabatnya. Suasana cozy dan foto-foto piala dunia hingga foto spektakuler pemain bola kelas dunia dengan tendangan fenomenalnya, tampak terbingkai di setiap sudut ruangan.

Saat Sultan masuk, dari arah jam satu, terlihat Lutfi memberi isyarat gerakan tangan ke arahnya. Wajah Lutfi terlihat cerah. Berkebalikan dengan dirinya.

Hari ini bukan tanpa alasan, mereka bertemu. Kantung mata Sultan yang sedikit menghita, tidak bisa menyembunyikan kenyataan kalau ia sulit tidur. Mengapa semua rencana hidupnya berantakan. Ia tidak tahu. Ia merasa sedang dihukum Tuhan untuk kesalahan yang ia sendiri tidak tahu apa.

"Bro, gimana kabarnya? Sampai Jakarta nggak bilang-bilang. Gue tahunya dari Bang Syauqi kalau Lo udah balik." Lutfi menyebut nama kakak tertua Sultan.

Bahu Sultan jadi sasaran amukan Lutfi yang memukulnya seperti memukul samsak. Dulu mereka hobi lari pagi dan workout bareng tiap akhir pekan, kini rasa sakit di bahu Sultan menjadi pertanda ia kurang olahraga.

"Seperti yang Lo lihat. Kabar Gue, nggak baik-baik aja." Sultan memanggil pramusaji dan bersiap memesan minuman hangat. Hanya lemon tea panas dengan pancake dan fla coklat. Ia butuh yang manis-manis malam ini. Setidaknya untuk menghibur diri.

"Lo masih kembali ke pusaran yang sama? Abang-Abang Lo tetap minta Lo jadi seperti yang mereka minta?" Lutfi memesan kopi Americano seraya menatap Sultan. Masih dengan pandangan yang sama. Layaknya sahabat lama yang baru bertemu.

"Iya. Rasanya gue pengen mulai hidup baru, seperti yang gue mau. Gue pengen nikah. Tapi perempuan yang gue lamar, nolak gue. Dia bilang gue seharusnya bisa dapat yang lebih dari dia. Padahal yang gue pengen cuma dia. Sesayang itu gue sama dia, Fi. Dia sekarang ada di Jakarta, tapi sesulit itu gue genggam hati dia."

Lutfi memandang Sultan prihatin. "Bukan berarti gue nggak empati sama yang Lo alami sekarang. Gue minta maaf baru kasih tahu Lo. Gue nggak mau cuma kirim undangan virtual doang ke Lo." Lutfi membuka tas yang ia bawa dan memberikan undangan berwarna cream dengan pita berwarna coklat bata.

"Congratz." Sultan menerima undangan pernikahan itu sambil membayangkan dua huruf S berdampingan menghias di depan sampulnya. Sultan dan Sekar. Miris.

Hatinya sudah terlampau jatuh pada satu nama, karena selama satu tahun hanya Sekar yang sering ia temui.

"Lutfi dan Diani." Sultan membaca nama calon istri Lutfi di undangan. Nama perempuan yang terdengar asing di telinga Sultan.

"Kalian ketemu dimana? Lo dan Diani?"

Pertanyaan Sultan langsung dijawab dengan tawa. "Diani adeknya Dony."

"Dony, anak basket. Mahasiswa FE?"

Mereka pernah beberapa kali tanding basket saat masih kuliah dulu.

"Ya. Kita berdua ketemu pas kegiatan pengobatan massal. Dia masih koas. Kalau perusahaan adain acara charity, Diani suka ajak teman-temannya. Dari saling ngobrol, gue tahu kalau Diani secara personaliti, dia baik. Meski nggak banyak ngomong. Butuh waktu enam bulan buat kita saling kenal dan gue nggak mau ngulur waktu lebih lama lagi kayak Dony. Tujuh tahun dia putus sambung sama Lovita, endingnya nggak nikah juga."

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang