RC - 06

1K 121 15
                                    

Jakarta.

Acara makan malam berjalan panas. Terlebih saat Syauqi membahas Program Studi yang akan diambil Sultan. Bukan 'akan'. Tapi 'harus'. Mengingat kesuksesan kakak-kakaknya, pastinya akan berimbas pada hidupnya. Ia tidak bisa memilih, melainkan dipilihkan.

"Semester depan kamu bisa ikut ujian masuk Bedah Anak atau Bedah Plastik, Dek." Syauqi sebagai anak tertua, memberi arahan.

Mama memberikan dukungan penuh. Itu terlihat dari sorot mata beliau. Almarhum papa dulunya adalah dokter Spesialis Bedah Digestif. Apa pun itu, asalkan program studi Bedah. Tanpa hendak mengecilkan bagian apa pun, hal itu jadi berbeda untuk Sultan.

"Maaf Kak. Sejak awal aku kurang tertarik ambil Bedah."

"Semua bisa dipelajari, Dek. Dulu Kakak juga gitu. Lama-lama kita bisa adaptasi. Kita anak-anak Papa, born to be a surgeon." Sayid, kakak kedua Sultan, semakin membuat situasi semakin sulit.

"Nanti akan aku pikirkan ulang Kak." Sultan sudah tidak berselera makan. Padahal mama sudah memasak makanan kesukaan si putra bungsu. Pepes ikan nila dan tumis kailan.

"Meneruskan kebaikan Papa dengan menjadi dokter ahli bedah adalah amanat almarhum sebelum wafat. Sebagaimana Kakek juga telah menggariskan hal yang sama ke semua cucunya. Kamu tahu kan, Papa adalah putra satu-satunya yang mewarisi rumah sakit milik Kakek. Mama harap kamu nggak akan buat Papa kecewa." Mama mengusap lembut punggung Sultan.

Sampai sekarang mama masih saja menganggap Sultan anak kemarin sore. Sejak remaja ia memang terkenal berjiwa pemberontak, namun mulai berubah ketika papa sakit. Ia tidak ingin menambah beban pikiran papa. Apalagi saat lulus SMA, tadinya Sultan tidak ingin menjadi dokter. Entahlah. Ia tidak tahu alasannya. Ia hanya ingin berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Namun pada akhirnya ia mengalah demi kebaikan keluarga dan memendam keinginannya.

Makan malam baru saja usai. Sultan tidak berjanji apa pun. Seperti biasa, dalam keadaan pasif pun ia tahu. Kedua kakaknya, Syauqi dan Sayid akan mendaftarkan dirinya untuk ujian masuk program dokter Spesialis. Semua data pendidikannya sudah masuk ke database keluarga.

Selesai mencuci piring dan gelasnya sendiri, Sultan menyingkir dari ruang makan dan kembali ke kamar. Sudah lewat beberapa hari namun kopernya masih berada di tempat yang sama. Sadar kalau meninggalkan gawai di atas meja kamar terlalu lama, ia mengecek pesan yang masuk.

Kedua netranya berhenti di tulisan tiga kali panggilan tak terjawab dari Dwi dan Intan. Mantan asistennya di tempat praktek. Ia kemudian menelepon balik.

"Assalaamu'alaikum. Mbak Intan tadi telepon ada apa?"

"Wa'alaikumsalam. Dok. Mau kasih kabar kalau HPnya Sekar hilang. Jatuh di pabrik."

Kening Sultan berkernyit. "Pabrik? Apa sekarang Sekar kerja di pabrik?"

"Aduh. Ceritanya panjang, Dok. Ini saya sama Dwi baru pulang dari rumahnya Sekar. Dia itu kayaknya dimanfaatin Mas Cakra buat demo di pabrik garmen. Nggak tahunya ada kerusuhan. Banyak polisi dan mas Cakra juga sekarang masuk bui."

"Astaghfirullah. Gimana kondisi Sekar sekarang? Apa dia terluka?"

Detak jantung Sultan tiba-tiba jadi tak karuan. Baru sebentar ia pergi meninggalkan gadis itu, lalu terjadi hal yang tidak diinginkan.

"HPnya masih aktif?"

"Nggak tahu Dok. Dari tadi kami belum ada yang telepon. Cuma dengar kabar kalau Sekar pingsan karena kedorong orang-orang."

Separah itukah? Kalau Sultan bisa, malam ini juga ia ingin kembali ke desa Bumi Jati. Tapi mama pasti akan melarang dirinya. Untuk apa?

Ia bahkan tidak punya keberanian mengajak Sekar ikut dengannya ke Jakarta. Belum ada status di antara mereka berdua. Hubungan mereka hanya sebatas dokter dan asisten. Hanya berteman. Tidak lebih. Meski ia menginginkan lebih.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang