RC Part 18

915 121 25
                                    

"Kala rembulan mendekap malam,
Kurasakan sepi tanpa hadirmu.

Semoga engkaulah yang Pemilik semesta takdirkan,
Untuk menjadi pelabuhan terakhir hatiku."

°°°°°

Rumah mungil dengan cat tembok yang sedikit mengelupas di sana sini, seperti tersenyum menyambut kedatangan Sekar. Setidaknya itu yang Sekar rasakan. Kerinduan pada kampung halaman dan rumah tempat ia dibesarkan, kini terobati.

Sudah hampir satu tahun rumah mereka tidak dicat dengan warna yang baru, karena ayah yang biasa melakukannya. Ayah serba bisa dan menjadi andalan dua perempuan kesayangan beliau.

Sekar membawa koper kecil yang sempat dia beli di toko swalayan milik Nares. Dengan memakai kartu karyawan, dia bisa mendapat potongan harga. Dia meminta mobil Nares berhenti di perempatan jalan sekitar 500 meter dari rumah. Dia meminta Nares tidak menurunkan kaca jendela supaya tidak ada tetangga salah paham karena diantar lelaki tidak dikenal.

Nares menuruti permintaan Sekar, tapi tetap mengingatkan gadis itu. "Jangan lupa pulang. Anggap kantor saya sebagai rumah kamu juga. Saya tunggu kamu, Sekar."

Sekar memasang wajah datar. Nyaris tanpa senyum. Kalau pun ada, hanya segaris. Dia takut Nares akan besar kepala jika melihatnya tersenyum. Dia tidak ingin memberi harapan lebih untuk Nares. Tidak saat ini. Kalau yang dimaksud 'rumah'adalah gedung delapan lantai dengan kamar berukuran lima kali enam meter di dalamnya, Sekar masih lebih menyukai kamar kosnya yang mungil.

Dia tahu setiap pagi sudah ada sarapan di depan kamar di lantai lima kantor Nares, persis seperti layanan room service di hotel. Sekar tahu semua itu pasti dalam kendali Nares. Sampai hari ini Sekar belum bisa mengenali perasaannya ke Nares, karena dia sudah lebih dulu menyukai lelaki lain. Dokter Sultan. Dia adalah lelaki pertama yang mengungkapkan perasaannya ke Sekar dan itu sulit untuk dilupakan. Hanya saja dokter Sultan terasa sulit digapai.

Apalagi ketika Sekar tahu semua keluarga dokter Sultan adalah dokter Bedah ternama. Mereka memiliki rumah sakit keluarga di Jakarta. Hanya dokter Sultan yang belum menjadi dokter Bedah. Sekar merasa rendah diri karena dia hanyalah lulusan SMA.

Sekar sama sekali tidak menyangka, dalam jarak yang berdekatan, Nares datang dalam hidupnya. Pria yang semula mengaku bukan pemilik perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Bisa-bisanya Nares berbohong dan sengaja menerima Sekar bekerja di sini.

Sekar baru membuka pintu depan saat seseorang memanggil namanya.
"Sekar." Dia menoleh.

"Dea."

Dea mendorong pintu pagar dan memasukkan sepedanya. Dia memeluk Sekar dan meminta maaf. "Maafin aku karena membuat kamu terpaksa bekerja di kantor Pak Nares. Kamu... pulang lagi ke sini karena dia memperlakukan kamu tidak baik, kan?"

Kening Sekar berkerut. Mengapa tiba-tiba Dea mengaitkan dirinya dengan Nares.

"Siapa? Pak Nares?"

Dea mengangguk. Dia tidak pernah bercerita ke Sekar kalau meminta imbalan uang ke Nares saat pria itu banyak meminta info tentang Sekar.

"Beliau... baik sama aku."

"Beneran? Dia nggak jahat sama kamu?" Kedua mata Dea membulat tidak percaya.

"Beliau baik. Semoga seterusnya juga baik. Teman kantor yang lain juga baik."

"Berarti ada kemajuan hubungan kamu dengan Pak Nares." Dea yang sedang butuh uang karena ingin membeli ponsel keluaran terbaru, sedang memutar otak supaya bisa mendapatkan uang dengan cara mudah.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang