RC - 08

845 128 30
                                    

Di dalam mobil Safira menahan isak sambil memeluk Sekar. "Kita tidak perlu hutang budi terhadap orang seperti dia."

"Maksud Bunda? Pak Nares?" Sekar masih merasa nyaman berada dalam dekapan bundanya.

"Siapa lagi kalau bukan dia. Bunda baru sadar dan hampir aja percaya kalau Nares benar-benar baik. Kenyataannya waktu dia denger penjelasan dokter, kelihatan kalau mukanya nggak senang begitu hasil CT Scan kepala kamu baik-baik aja."

Mungkin Safira menilai Nares berlebihan, lebih karena dia tidak ingin Sekar mudah percaya dengan pria kaya raya yang mendekati gadis itu. Safira pernah mengalami hal serupa saat masuk bangku kuliah. Dia pernah mencintai dan merasa dicintai salah seorang pria kaya. Pria yang ternyata hanya ingin menjadikannya batu pijakan untuk mendekati Berliana, kakak kandungnya.

Hal menyedihkan lain yang terjadi. Pria itu kini menjadi kakak iparnya. Tidak lain adalah Emran yang kini menjadi suami Berliana. Menjalin hubungan cinta selama empat tahun saat menjadi mahasiswi, bukan waktu yang sebentar. Saat Emran mengatakan bahwa ia tidak pernah mencintai Safira dan sebaliknya justru menjalin hubungan diam-diam dengan Berliana, membuat hati Safira patah.

Dia hampir tidak bisa lagi percaya arti cinta, sampai dia bertemu Ammar Mahardika. Pemuda desa yang menemaninya saat KKN dan di desa. Juga berbagi mimpi untuk membangun kesejahteraan penduduk desa lebih baik lagi. Ammar mendirikan sekolah baca untuk mengajarkan penduduk desa yang masih buta huruf. Tidak hanya berkecimpung di sekolah, pria itu juga mengembangkan koperasi bahan pokok untuk murid-murid di sekolah. Agar terjerat dari lintah darat yang masih bergentayangan di desa.

Penduduk desa sangat kehilangan sosok Ammar ketika pria baik hati itu wafat karena kecelakaan. Mobil yang ia tumpangi jatuh ke jurang karena kelebihan muatan sembako yang rencananya akan dibagikan ke penduduk desa sebelum bulan Ramadhan.

Safira menghapus titik air matanya dan mengusap lembut kepala Sekar yang bersandar di bahu perempuan itu. Perlahan napas Sekar terdengar teratur dan sebentar kemudian sudah jatuh tertidur. Kedua bola mata Safira kembali berkabut setiap kali mengingat Ammar. Rasanya hanya sebentar Allah meminjamkan bilangan waktu hidup bersama sang suami. Membesarkan bersama putri semata wayang mereka yang belum pandai mengenal asam garam kehidupan.

Sekar selama ini selalu menganggap semua orang baik seperti dirinya. Entah sampai kapan Safira akan diberi kesempatan untuk bersama putrinya. Dia berharap panjang usia untuk melihat Sekar masuk Perguruan Tinggi, kemudian kelak menikah dan memiliki anak-anak yang lucu.

Mobil yang mengantar mereka akhirnya sampai di depan rumah. Sekar masih pulas tertidur sampai kemudian Safira membangunkannya. Gadis belia yang mengantuk itu mengerjapkan mata berulang kali.

"Sudah sampai ya, Bun?"

Safira mengangguk sambil tak henti tersenyum melihat muka bantal putrinya. Dia sudah sangat bersyukur hari ini hasil pemeriksaan putrinya baik-baik saja. Namun pandangannya langsung teralih begitu melihat mobil berwarna hitam tiba-tiba berbelok dan berhenti di depan mobil sewa yang ditumpangi Safira. Napas Safira hampir saja tercekat begitu mengetahui siapa yang turun dari mobil itu.

Setelah membayar biaya mobil, Safira keluar dari mobil sambil tetap menggandeng tangan putrinya. Sekar ikut menengok ke belakang dan ikut terkejut saat tahu Nares ternyata mengikuti mobil sewa.

"Mau apa lagi kamu?" Tanya Safira ketus. Dia merasa tidak nyaman melihat Nares menyusul mereka.

Nares membuka kancing di pergelangan kemejanya dan menggulung hingga ke siku. Ia menunjukkan sisi amarah dan tidak terima dengan sikap Safira kepadanya.

"Urusan saya dengan Sekar belum selesai. Saya masih ingin memastikan hasil pemeriksaan dia di Jakarta." Tentu saja itu hanya akal-akalan Nares karena ia ingin membalas perlakuan Safira yang menurutnya tidak masuk akal dan membuat lelaki itu hampir hilang akal.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang