Bab 2: Mati lampu

7 2 0
                                    

"Ibu, aku tadi memukul Paman Jeff karena dia bertingkah seperti seorang pencuri." Felix berusaha memberi penjelasan kepada Ibunya. "Paman masuk ke rumah tanpa memberitahu," ucapnya dengan nada kesal.

"Eh, Ibu sudah pulang," ucap Edward menyela ucapan dan muncul entah dari mana. "Ada makanan apa, Bu?" Edward mengusap kedua telapak tangannya. Ia terlihat ingin membongkar isi dari kantongan itu.

"Edward biarkan Ibu merapikan barang ini terlebih dahulu dan selesai berbicara dengan pamanmu, baru kamu bisa mengambilnya." Ibu memberi nasihat dan mencium kening Edward.

"Baiklah, Bu." Edward membalas perkaatan Ibunya dengan senyuman dan berjalan ke luar dari ruangan.

"Ibu, biarkan aku membantu membawa barang itu," Felix dengan cepat mengambil kantongan kecil yang masih berada di genggaman Ibunya dan segera merapikannya.

"Ok, kita kembali ke topik." Ibu menatap kembali wajah Paman. "Jeff, kamu harus memberikan penjelasan kepadaku?" Ibu menaikkan alisnya

Paman Jeff lalu menghela napas. "Baiklah, aku tidak sengaja merusak mesin ketik Madam Jeshina," ucapnya sambil menggaruk kepalanya.

"Astaga, Jeff. Kamu yakin merusaknya?" Ibu membelakkan mata seolah tidak percaya dengan ucapan Jeff. "Kamu tahu kan, pekerjaanmu bisa hilang akibat merusaknya." Suaranya terdengar begitu keras hingga membuat Felix terdiam.

"Iya, Stef. Aku tidak sengaja menjatuhkan mesin itu ketika membersihkan bagian perabot antik di dalam rumahnya," ucap paman Jeff dengan nada sedikit panik. "Aku harus cepat kembali memperbaikinya sebelum dia pulang dan mengetahui hal ini." Paman Jeff mengambil obeng itu, memasukkannya dalam kantong celananya dan langsung berlari ke luar ruangan.

"Hei Jeff, kamu melupakan mantelmu!" teriak Ibu tetapi Paman Jeff tidak mendengar ucapannya sama sekali. "Hmm ... Seseorang harus mengantarkan jaket ini. Cuaca sebentar lagi hujan dan Jeff bisa saja kehujanan," ucap Ibu sambil menghela napas sambil menggelengkan kepala.

"Ibu, biarkan aku saja yang mengantarnya." Felix mengambil jaket paman Jeff.

Ibu lalu menyerahkan mantel milik paman Jeff kepada Felix. Felix mengambil topinya dan berjalan ke luar. Dia lalu memutar gagang pintu dan bersiap untuk ke luar mengejar pamannya, tetapi tiba-tiba Ibu kembali memanggil namanya.

"Felix!" Suara Ibu terdengar cukup melengking. "Aku ingat, ternyata masih ada urusan yang harus kulakukan." Ibu berjalan mendekat ke arah Felix dan mengambil mantel tersebut.

"Ibu tapi .... "

"Kamu jaga di rumah saja," ucap ibu mencium kening Felix dan pergi meninggalkannya.

"Baik, Bu." Felix membalas ucapan ibu dengan senyuman tipis di bibirnya dengan helaan napas.

Felix lalu menutup pintu dan masuk ke dalam rumah. Dia lalu berjalan ke ruang tamu dan kembali menyalakan siaran televisi. Ketika dia sedang asyik menonton, tiba-tiba lampu seketika padam. Suasana menjadi gelap gulita dan seketika hening tanpa suara.

"Ed, ini tidak lucu!" teriak Felix dengan nada kesal.

"Hei, aku tidak mematikannya!" Edward membalas teriakan Felix.

Felix seketika terdiam. Dia berpikir mungkin Edward lagi mempermainkan dirinya untuk kedua kalinya.

"Ed, aku serius. Lampunya nyalakan sekarang!" teriak Felix dengan jengkel. "Aku sedang tidak ingin bermain sekarang," jelasnya. "Aku akan menelepon ibu!"

"Argh! Hei, kamu berpikir aku sedang bercanda?" teriak Edward dengan nada suara yang terdengar meninggi dan suaranya. "Ah, aku malas membahasnya!" ucap Edward dengan nada kesal.

Felix kembali menghela napas. Dia lalu memanggil adiknya, tetapi tidak ada sahutan balik. Dia merasa Edward mungkin kesal dengan ucapannya sehingga  memutuskan untuk mencari Edward di kamarnya. Dia lalu mengambil telepon genggamnya dan berusaha menelepon ibu. Akan tetapi, sinyal saat ini dalam kondisi yang buruk dan tidak memungkinkan untuk menelepon Ibu. Dia lalu berdiri dari kursinya dan berjalan menuju kamar Ed. Akan tetapi, tiba-tiba ada embusan angin yang agak berbeda menyentuh permukaan kulitnya. Dia merasa bahwa ada seseorang di sini dan dengan cepat berbalik. Akan tetapi, tidak terlihat batang hidung siapa pun.

Aneh, tidak ada siapa siapa di sini atau hanya perasaanku saja.

Felix melanjutkan berjalan menuju ke kamar Edward. Suasana begitu hening dan sepi. Suara-suara binatang malam terdengar dari luar rumah membuatnya sesekali kaget. Denyut jantungnya terus berdetak kencang. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Akan tetapi, dia terus berjalan dengan sesekali berteriak memanggil nama Edward.

"Ed!"

Akan tetapi, Edward sama sekali tidak membalas ucapannya. Dia merasa ada yang aneh dengan Edward. Edward sosok yang penakut apalagi seorang diri. Dia harusnya mendengar teriakan Edward atau setidaknya tangisannya, tetapi tidak terdengar apa-apa sama sekali.

Aneh, di mana Ed?

Dia terus melangkah diikuti dengan denyut jantung yang terus berdetak cepat. Keringat terus mengalir dan tangannya sesekali gemetar. Tiba-tiba siluet seseorang tergambar jelas di tembok tidak jauh dari posisinya. Bayangannya terlihat berjalan dan tidak lama kemudian menghilang. Felix berusaha untuk mengejar siluet itu, berharap bahwa dia dapat menemukan Edward. Akan tetapi, dia lalu merasakan sesuatu menyentuh pundaknya.

Felix terdiam dan badannya seketika kaku layaknya patung. Keringatnya mengalir tiada henti. Denyut jantungnya semakin cepat. Matanya perlahan melirik ke arah pundaknya. Dia lalu menelan air liur yang bersarang di dalam kerongkongan.

Itu tangan siapa?

***

Why usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang