Seorang pria berseragam lengkap berjalan dan mengecek setiap tahanan yang berada di dalam jeruji. Felix yang mengintip di balik celah-celah kotak melihat kunci yang tergantung di ikat pinggang pria itu sambil mengatur napasnya.
Pria ini pasti memiliki kuncinya. Aku harus mengambilnya.
Felix lalu mengatur siasat agar dapat mengambil kunci itu. Tangannya mengambil balok kayu. Dia perlahan berjalan mendekati pria itu yang sedang berada di dalam jeruji sel milik Max. Balok kayu diangkatnya cukup tinggi dan langsung mengayunkan balok tersebut. Akan tetapi, pria itu dengan cepat menyadarinya. Dia berbalik dan langsung memukul perut Felix hingga terbaring di tanah.
"Usaha yang bagus, Nak." Pria itu menatap Felix dengan tatapan tajam.
Pria itu lalu mendorong Felix masuk ke dalam jeruji yang sama dengan Max. Ketika pria itu membalikkan badan, Max dengan cepat mengikat leher pria itu menggunakan rantai yang terikat di tangannya. Pria itu meronta kesakitan dan tidak lama kemudian dia tidak sadarkan diri.
Max lalu membantu Felix berdiri dan dengan cepat mengambil kunci itu dan membuka rantai yang mengekang tangan Max.
"Max, untunglah kamu baik-baik saja." Felix dengan cepat memeluk erat Max. "Aku mengira akan kehilangan dirimu."
"Lix, terima kasih karena telah menyelamatkanku." Max membalas ucapan Felix.
Felix menengok dan terlihat sedang mencari sesuatu. "Max, kamu tidak bersama dengan Ed?"
Max menggelengkan kepala. Dia ternyata tidak mengetahui keberadaan Edward sekarang. Felix hanya bisa menghela napas mendengar hal tersebut.
"Lix, bagaimana dengan Lisabeth?" Max berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.
Felix lalu menceritakan bahwa Lisabeth saat ini telah dijaga oleh Paman Jeff. Kondisi Lisabeth memprihatinkan sehingga harus cepat mendapatkan penangangan khusus dari rumah sakit. Mata Max seketika membesar mendengar ucapan itu. Dia tidak bisa membayangkan kondisi Lisabeth sekarang. Felix juga mengatakan bahwa semua ini adalah ulah dari Naisha.
"Wanita sialan itu harus mati!" Max mengepalkan tangannya dengan erat.
"Aku setuju." Felix mengangguk. "Akan tetapi, sekarang kita harus ke luar dari tempat ini terlebih dahulu."
Max lalu menarik tangan Felix dan berjalan ke luar dari tempat itu. Beberapa pasang mata hanya melihat Felix dan Max berjalan. Tatapan sedih, ketakutan mereka membuat Felix seketika terdiam. Perasaannya mulai bercampur aduk.
"Lix, ada apa denganmu?" Max mengerutkan alisnya. "Kita harus mencari keberadaan Edward sekarang."
"Max, kita tidak bisa meninggalkan mereka di sini."
"Lix, kondisi kita saat ini juga tidak menguntungkan." Max berusaha membujuk Felix untuk ke luar dari tempat ini. "Edward mungkin saja dalam bahaya."
Felix terdiam. Dia bingung harus mengambil tindakan yang harus dipilihnya. Pikirannya mulai gelisah tiada henti.
"Lix, ayolah kita harus ke luar sekarang!" Max menengok ke luar. "Suasana di luar lagi aman. Kita bisa dengan mudah menyelinap."
"Max, tapi .... "
"Lix, ingat tujuan kamu ke sini." Max menghela napas dan berusaha mengatur emosinya. "Kita bukanlah pahlawan yang bisa menyelamatkan semuanya," ucapnya berusaha membujuk Felix untuk melupakan anak-anak itu.
Ucapan Max membuat Felix terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Kepalanya terasa panas memikirkan hal itu semua. Keputusan yang salah bisa berakibat fatal kepada semuanya.
"Lix, jadi apa keputusanmu?" Max menaikkan alisnya.
Felix lalu berjalan mendekat ke arah Max dan mengambil kunci yang berada di genggaman Max.
"Max, aku ingin menjadi pahlawan itu." Felix lalu berjalan mendekati jeruji sel lainnya dan perlahan membukanya.
"Lix, kamu memang orang yang baik." Max menggelengkan kepalanya dan membatu Felix untuk membuka setiap jeruji sel yang berisi anak-anak itu.
Anak-anak itu berlari ke luar dari tempat itu. Suasana di luar yang tadinya tenang seketika menjadi ribut. Suara sirene terdengar begitu keras hingga memekakkan gendang telinga. Setelah semua anak-anak ke luar, Felix dan Max bergegas meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, semuanya berjalan tidak sesuai dengan pikiran Felix. Suasana di luar begitu kacau. Beberapa orang berseragam datang dan menangkap satu per satu anak yang dibebaskan Felix. Beberapa dari mereka dipukul menggunakan tongkat. Cairan segar merah ke luar dari mulut mereka dan terlukis jelas di tanah. Felix hanya bisa terdiam mematung. Dia tidak menyangka keputusan yang dilakukannya hanya membawa masalah.
"Lix, ayo kita harus cepat!" Max menepuk wajah Felix dan segera menarik tangannya.
Felix seketika tersadar dan mereka berdua segera berlari. Detak jantung terus berpacu. Beberapa penjaga berusaha untuk menangkap mereka, tetapi Felix dan Max berhasil melewati mereka. Felix dan Max lalu memutuskan beristirahat karena merasa sudah berada cukup jauh dari kejaran.
"Lix, untunglah kita bisa lolos dari mereka." Max menyeka keringatnya yang memenuhi dahinya.
"Max, aku harusnya mendengar ucapanmu." Felix menundukkkan kepalanya dan termenung.
"Lix, sudahlah sekarang kita harus mencari Edward dan ke luar dari tempat yang terkutuk ini.
"Iya, Max kamu benar." Felix mengangkat kepalanya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya.
Mereka berdua lalu berjalan melewati sebuah lorong kecil. Felix dan Max mempercepat langkah kakinya hingga menggema di tempat itu. Ketika mereka sampai di ujung koridor. Seorang wanita tua muncul di depan mereka. Sosoknya terlihat sama persis dengan foto yang dilihatnya ketika berada di rumah Madam Jeshina.
"Astaga, aku mengira dia sudah mati!" Max terkejut melihat seseorang yang dikatakan telah mati muncul di hadapan mereka.
Nenek itu tiba-tiba kembali memiringkan kepalanya dengan senyuman lebar di bibirnya. Dia perlahan menarik sesuatu di sekitar lehernya hingga membuat permukaan kulitnya terkelupas. Felix dan Max menyaksikan hal mengerikan itu hanya bisa mengerutkan alis dan menutup mulut. Nenek tua itu perlahan menunjukkan wajah aslinya yang ternyata adalah Naisha.
"Halo Felix, Max." Naisha tersenyum lebar melihat mereka berdua.
"Astaga! Jadi selama ini kamu pelakunya."
"Oh, ya tentu saja. Aku selalu mengawasi gerak gerikmu." Naisha tertawa mendengar perkataan Felix. "Akan tetapi, aku tidak berpikir kalian bisa sampai sejauh ini," ucapnya dengan nada santai.
"Wanita sialan! Lisabeth hampir mati gara-gara kamu." Max mengepalkan tangannya dengan kencang diikuti dengan wajahnya terlihat merah.
Felix berusaha menenangkan Max. Akan tetapi, Max tidak sanggup menahan amarah yang terus bergejolak di dalam dadanya. Dia lalu berlari ke arah Naisha dan seketika melayangkan pukulannya. Akan tetapi, sebuah peluru melesat lebih dulu dan bersarang tepat di kakinya. Dia terjatuh dan meringis kesakitan. Darah mengalir melalui luka tembakan.
"Max!" Felix dengan cepat menolong Max yang terbaring di atas tanah.
"Argh! Sial!" Max berteriak dengan keras sambil berusaha menahan lukanya. "Wanita psikopat!" Matanya menatap tajam Naisha.
"Hei, bukan aku yang menebakmu." Lisabeth memutar bola matanya. "Aku sama sekali tidak bersenjata." Naisha mengeluarkan isi kantong celananya. "Iya kan?"
Felix dan Max terdiam mendengar perkataannya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari belakang. Mereka dengan cepat berbalik dan terlihat seorang pria memegang sebuah senapan diikuti dengan seorang wanita yang berada di sampingnya.
"Ayah? Ibu?" Max heran melihat wajah kedua orang tuanya. "Tapi, kenapa bisa?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why us
Misterio / SuspensoFelix, Edward dan ibunya merupakan salah satu dari keluarga sederhana di sebuah kota. Mereka bertiga hidup normal seperti keluarga pada umumnya. Akan tetapi, suatu peristiwa aneh muncul. Sebuah tanda berbentuk rantai hitam tiba-tiba muncul di pergel...