Bab 15: Nenek tua

6 1 0
                                    

Badan Felix seketika kaku layaknya batu. Keringat membasahi wajahnya. Denyut jantungnya terus berpacu. Dia perlahan memutar kepalanya dan melihat sosok yang memanggilnya.

"Astaga, ternyata kamu." Felix kembali bernapas lega. Dia awalnya mengira Ibu atau orang lain yang memanggilnya ternyata sosok itu adalah adiknya sendiri.

"Kak, ini ruangan Ibu kan?" Edward memandang sekeliling dan berjalan mendekati kakaknya yang sedang memegang kertas.

"Iya, ini ruangan Ibu. Kamu jangan membuat keributan, nanti Ibu marah." Felix kembali membaca kertas yang berada di tangannya dengan tenang.

"Kak, itu apa?' tanya Edward penasaran.

"Aku juga kurang tahu, Ed. Akan tetapi ini ada nama kita di kertas ini." Telunjuk Felix memperlihatkan nama Edward yang berada setelah nama Felix.

"Iya, aku juga penasaran. Apakah kita sebaiknya bertanya langsung kepada Ibu?" tanya Edward kepada Felix. "Dia mungkin akan menjelaskan kepada kita, bukan?"

"Ed, aku merasa itu ide yang buruk." Felix dengan cepat menggelengkan kepalanya.

Edward lalu mengambil beberapa foto yang berserakan di lantai. Matanya perlahan melihat setiap wajah yang ada di sana. Tiba-tiba, ada sebuah foto di gambar tersebut yang membuatnya heran.

"Eh, Kak itu kan foto kita waktu kecil." Edward memperlihatkan salah satu gambar dari salah satu foto yang ada.

Felix memicingkan matanya. Dia awalnya ragu dengan perkataan adiknya. Akan tetapi, setelah dilihat lebih lama ternyata memang itu adalah wajah mereka waktu kecil. Namun, di foto tersebut mereka juga menggunakan baju dengan serial angka. Mereka berdua saling menatap keheranan. Ada hal yang tampaknya disembunyikan Ibu dari mereka.

Mereka memutuskan untuk menyimpan semuanya dan segera kembali ke ruangan semula. Akan tetapi, sebelumnya Felix sempat mengambil foto miliknya dan Edward dan menyimpannya di dalam saku celananya tanpa memberitahukan kepada siapa pun termasuk Adiknya sendiri.

Mereka mempercepat langkahnya, berharap Ibu dan Paman Jeff belum tiba. Untungnya, ketika mereka sampai di sana tidak terlihat siapa pun di sana. Mereka berdua menarik napas panjang dan segera duduk.

Tidak lama setelah itu, Ibu dan Paman Jeff masuk ke dalam ruangan. Wajah Paman Jeff terlihat lebih baik dari kemarin. Dia mungkin berhasil mendapatkan pekerjaan tersebut.

"Anak-anak, maaf membuat kalian menunggu lama," ucap Ibu berjalan mendekati Felix dan Edward. "Apa yang terjadi dengan kalian?" Ibu mengerutkan alisnya melihat wajah Edward dan Felix yang terus terus berkeringat.

"Eh, kami tadi habis olahraga bu," ucap Felix mengelak. "Soalnya kami bosan, jadi kami olahraga di sini," sambungnya diikuti dengan gerakan kecil peregangan badan. "Betul kan, Ed?"

"Ah, Iya Bu. Olahraga bagus untuk menghilangkan rasa jenuh," Edward tertawa dan mengikuti gerakan yang dilakukan kakaknya agar Ibu tidak curiga.

Ibu hanya bisa menghela napas. "Baiklah, aku harap kalian mengatakan yang sebenarnya. "Hmm... bagaimana kalau kalian ikut bersamaku pergi melihat bulan?"

"Ah, Ibu pasti bercanda kan?" Felix berpikir bahwa Ibunya sedang bercanda. "Bulan munculnya malam hari bu, ini kan masih siang,"

Ibu mengerutkan alisnya mendengar ucapan Felix. "Apa kamu yakin akan hal itu?"

Ibu lalu mengajak mereka ke ruangan pengamat tempat Ibu melakukan penelitian terkait pergerakan bulan. Sebuah teleskop besar berwarna putih berada di dalam ruangan itu dan salah satu ujungnya mengarah ke langit.

"Lix, coba kamu lihat dan katakan apa yang terlihat." Ibu memanggil Felix melihat sesuatu dari teleskop itu.

"Lho, ini kan bulan?" Felix kaget melihat bahwa di siang hari ternyata ada bulan. "Ed, kamu harus melihat ini," ucap Felix sambil menarik lengan baju milik adiknya.

Why usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang