Bab 5: Misteri garis hitam

13 1 0
                                    

Felix memang belum pernah melihat pergelangan tangan Ibu secara langsung. Dia baru pertama kali melihatnya dan seketika membuatnya diam seribu bahasa.

"Lix, kamu kenapa," ucap Ibu mengerutkan alisnya. "Kamu sakit?" Tangan Ibu menyentuh jidat Felix dan memerika apakah suhu badannya normal.

"Aku tidak apa-apa, Bu." Felix segera melepaskan tangan ibu. "Ibu, aku ke kamar dulu," ucapnya bergegas berjalan meninggalkan ibu di dapur.

Pikirannya semakin tidak tenang. Dia mulai merasakan keanehan di tempat ini dan segera masuk ke dalam kamarnya.

"Kak, kamu kenapa?" ucap seseorang dari belakangnya yang terdengar familiar.

Felix menengok dan ternyata itu adalah Edward. Wajahnya terlihat kusam. Pakaiannya terlihat begitu kotor dengan keringat yang terus mengalir di wajahnya.

"Eh, Ed kamu dari mana?" ucap Felix mengerutkan alis. "Wajahmu seperti kuli bangunan," sambungnya dengan nada mengejek.

"Hehe... habis bermain, Kak." Edward membalas ucapan kakaknya dengan senyum tipis di bibirnya. "Kakak pasti sedang memikirkan sesuatu kan?" Edward menaikkan alisnya dan berusaha membuat Kakaknya untuk berbicara.

Felix lalu menghela napas lalu mengusap kepala Edward. "Ada memang hal yang menganggu pikiranku, tapi nanti saja kita bicarakan."

"Kenapa tidak dibicarakan sekarang saja, Kak?" Edward mengerutkan alisnya. Dia terlihat begitu penasaran dengan apa yang akan dikatakan kakaknya.

"Kita akan bicara setelah kamu mandi," ucap Felix sambil memegang gagang pintu kamarnya. "Baumu sudah seperti ikan kering," ejeknya lalu masuk ke dalam kamarnya.

"Ok Kak, siap!" ucap Edward dengan semangat dan berlari layaknya kelinci menuju ke kamarnya.

Felix lalu menyalakan laptop yang berada di atas meja belajar miliknya dan mulai mencari informasi mengenai garis hitam yang dilihatnya di tangan nenek aneh itu. Matanya bergerak mengikuti setiap tulisan yang berada di sana, tetapi tampaknya semuanya nihil.

Dia lalu membaringkan kepalanya di atas meja. Rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sulit dan mustahil untuk mendapatkannya. Akan tetapi, dering telepon miliknya berbunyi. Dia lalu mengangkatnya dan ternyata itu temannya, Max.

"Max, ada apa?"

"Lix, kamu di mana?" tanya Max diikuti dengan beberapa kali suara klakson kendaraan. "Hari ini kan kita rencana mencari hadiah untuk adikmu kan?" sambungnya.

"Astaga, iya. Aku lupa." Felix menepuk jidatnya. Dia sama sekali lupa mengenai hal itu. "Tunggu aku bersiap-siap terlebih dulu," ucapnya sambil bergegas mengambil jaket yang terletak di atas kursi dan segera ke luar dari kamarnya sambil menggenggam telepon.

"Iya cepat buruan yah, aku tunggu di tempat biasa." Max lalu mematikan teleponnya.

Felix mempercepat langkahnya menuju ruang tamu. Edward yang barusan ke luar dari kamarnya melihat tingkah kakaknya seperti dikejar binatang buas membuatnya mengerutkan alisnya.

"Lix, kamu mau ke mana?" ucap Edward dengan nada penasaran sambil menyeka rambutnya yang basah menggunakan handuk.

"Mau ketemu sama Max, aku lupa ada janji dengannya," ucapnya sambil mengambil topi biru cokelat yang tergantung di gantungan topi. "Ed, aku pakai topimu dulu yah," ucapnya sambil berjalan ke luar rumah. "Eh, ibu di mana?"

"Ibu tadi ke luar sebentar mau membeli sesuatu, ada yang kurang." Edward berjalan ke dapur dan mengambil kotak yoghurt lalu mengambil sendok di dapur.

"Ok, nanti kamu kasi tau ibu bilang aku ke luar dengan Max." Felix memegang gagang pintu dan berjalan ke luar dari rumah. "Ed, ingat kasi tau ibu!" teriak Felix dari luar rumah berusaha untuk mengingatkan adiknya yang sering lupa.

Why usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang