—ᝰ⸙—
Terkadang lebih baik berjalan di gurun pasir yang kering dari pada harus menelan pisau tajam yang akan menggores hati.
- rava -
--✥✥✥--
3 hari setelah Rafael bertemu dengan Adhitama–ayahnya, sekaligus orang yang paling ia benci–hari ini juga, Rafael akhirnya di perbolehkan pulang. Dan hari ini, tepatnya pada hari Sabtu Rafael sudah masuk sekolah seperti biasa dengan penutup mata yang sudah terlepas dari mata kirinya.
Ingat ya, dengan catatan: Harus rajin cek up. Minimal dua minggu sekali.
Hal itu lah yang selalu Vanya ingat setiap hari. Ia menjadi 99,9% lebih overprotektif dari hari-hari sebelumnya. Tahu sendiri, kan? Bagaimana perhatian yang Vanya berikan waktu Rafael masih di rumah sakit? Bahkan, kedua sejoli itu pernah berdebat tentang Vanya yang keras kepala jika di suruh pulang sebelum malam hari tiba. Gadis itu pasti akan kekeuh ingin menemani Rafael dengan alasan mengkhawatirkan kondisinya. Ya ... memang benar, sih. Sekhawatir itu Vanya terhadap Rafael.
Kini Vanya sedang duduk anteng di dalam kelas sambil memperhatikan guru bahasa Ppkn yang sedang menjelaskan di depan. Baru-baru ini, Vanya sedang tertarik pada hal-hal berbau politik hingga mencetuskan keinginannya yang ingin kuliah dengan jurusan Hukum.
Alasannya? Karena Vanya sangat membenci pada pejabat-pejabat tidak tahu diri yang berani berbohong dan melakukan korupsi. Apalagi saat mengetahui ada pejabat yang tidur waktu sidang atau rapat penting yang menyangkut warga negara Indonesia, saat itu juga Vanya akan misuh-misuh tidak jelas sambil menyumpah-serapahi nama pejabat itu. Itu adalah cita-cita Vanya untuk sekarang. Tidak tahu jika akan berubah nanti.
"Van, tadi—"
"Diem, Sa. Gue mau fokus belajar." Lihat, bahkan Clarissa saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara sepatah katapun.
"Buset, saking pengennya jadi Jaksa lo jadi galak begini, Van. Nggak suka gue," decak Clarissa sembari mengelus dada dengan dramatis. Merasa kesal bukan main karena sedari tadi ia sama sekali tidak bisa bicara pada Vanya. Gadis itu benar-benar serius belajar dan mencatat materi yang Pak Djaja ajarkan di depan.
Patut diacungi jempol, bukan?
"Makanya diem," ucap Vanya tak mau di bantah.
"Emang serba salah gue," keluh Clarissa dengan bahu yang menyorot iris mata Vanya dari samping dengan tatapan ... iba?
****
Pagi tadi, Vanya diantar oleh Pak Yayan. Vanya sudah menolak diantar oleh supir, namun Anggara membuatnya kalah debat dengan mengatakan: pilih dianter Pak Yayan, atau jalan kaki?
Sudah jelas Vanya memilih diantar Pak Yayan dong, masa iya dia harus jalan kaki ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh jika hanya berjalan kaki. Ada-ada saja memang Papanya ini. Untung sayang. Jika mencekik leher Ayah itu tidak berdosa, maka Vanya sudah melakukan itu agar Anggara tidak mengucapkan kata-kata ancamannya lagi. Menyebalkan sekali. Tapi maaf pa, Vanya nggak ada niatan buat durhaka sama orang tua, kok.
Ada dua hal yang membuat Vanya semangat sekolah hari ini. Diantaranya satu: kondisi Rafael yang sudah membaik dan di perbolehkan pulang oleh Dokter. Dua: hari ini Vanya rela bangun pagi-pagi sekali guna menyiapkan bekal khusus untuk sang Kekasih. Jadi ia pergi ke kantin sendirian karena ingin memberikan bekal ini pada Rafael. Pasti cowok itu sudah ada di kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVA : Rafael - Vanya ( SELESAI )
Jugendliteratur(SUDAH SELESAI, MASIH LENGKAP, DAN BELUM DI REVISI) 🌼🌼🌼 Menjadi anak piatu bukan 'lah suatu hal yang diinginkan setiap orang. Kehilangan orang yang paling berarti dan dicintai adalah sebuah luka yang terkadang sulit dipercaya oleh Rafael Arsya Ra...