Huhuu.. udah nyampe chapter 30 aja nih cerita. Kira-kira chapter ini bisa di sebut special chapter gak ygy?
Tapi sebelumnya maap ya kalo lapak cerita di akun tu acak-acakan karena semua cerita yg aku buat masih on going, hiks..
—ᝰ⸙—
Sudah sejak 30 menit yang lalu usai Vanya yang pergi sembari menangis setelah bertengkar dengan Bagas dan Alvin. Mereka berdua langsung mendapat amukan dari Rafael setelah cowok itu sadar dari tidurnya.
Sebelum di perbolehkan masuk, tadi Rafael sempat di periksa oleh dokter. Katanya jika kondisi Rafael sudah membaik, ia boleh pulang dengan catatan: konsultasi ke psikolog yang sudah di rekomendasikan oleh dokter Ardi dan rajin cek up.
Kini Bagas dan Alvin sedang berdiri tegak dengan kepala yang menunduk seperti sedang di interogasi dalam persidangan. Rafael yang jadi menterinya dengan tatapan tajam nan menusuk mata yang mengarah kepada dua manusia di hadapannya.
"Kalian nggak mikir? Bisa-bisanya kalian marahin pacar gue?" tanya Rafael penuh penekanan. Percayalah, sekarang Rafael sedang mati-matian menahan emosi agar dirinya tidak loncat dari atas brankar lalu menampar pipi kedua sahabatnya itu.
Alvin dan Bagas yang berdiri sekitar 2 meter dari tempat tidur Rafael, hanya bisa menunduk dengan perasaan bersalah. Sungguh, tadi Alvin maupun Bagas hanya kelepasan saja waktu sedang memarahi Vanya karena terlalu mengkhawatirkan kondisi Rafael.
Apalagi Alvin, laki-laki itu mungkin lupa ada di posisi apa Vanya sekarang. Vanya itu kekasih Rafael, juga akan menjadi menantu keluarga Adhitama jikalau mereka nanti berjodoh. Tapi Alvin malah berani membentak dan memaki Vanya seperti tadi. Itu sama saja ikut campur dalam hubungan mereka, kan? Alvin sadar seharusnya tadi ia tidak bertindak berlebihan seperti itu. Sekarang ia merasa sangat bersalah dan ingin meminta maaf pada Vanya.
"Sori, El. Gue kelepasan tadi. Sebenernya gue nggak punya niat jahat selain khawatir sama keadaan lo. Tapi cara gue salah," kata Alvin setelah beberapa saat terdiam.
Rafael bersidekap dada. "Sekarang mana cewek gue?" tanya Rafael seakan tak mendengar penjelasan dari Alvin. Wajar jika Rafael kesal sekali pada laki-laki itu karena telah membuat kekasihnya sakit hati.
Seketika Bagas dan Alvin saling tatap dengan mengingat kejadian pada 30 menit yang lalu. Mereka baru sadar kalau Vanya tidak ada disini karena telah pergi seraya menangis sebab ulah mereka. Ah, Bagas dan Alvin semakin merasa bersalah. Keduanya lalu menatap Rafael kembali.
"Vanya udah pergi, El. Mungkin ... pulang?" Bagas menjawab dengan takut-takut. Bukan apa, ia hanya takut jawabannya ini akan membuat Rafael semakin murka.
Mereka bisa melihat tangan Rafael yang sedang mengepal untuk menahan emosi. Rafael tetap tidak ingin meluapkan emosinya yang sudah berada di puncak kepala kepada kedua sahabatnya itu. Tidak, Rafael tidak sejahat itu.
"Arrgghh!!" teriak Rafael menggema di ruangan ini. Cowok itu berusaha meredakan nafasnya yang memburu lalu memalingkan wajah ke arah lain lalu berucap. "Sekarang kalian pulang. Gue mau sendiri," ucap Rafael pelan, namun penuh ketegasan di setiap kalimatnya.
Bagas dan Alvin langsung keluar dari ruangan itu sebelum emosi Rafael meledak hingga berdampak buruk pada kondisinya yang mulai membaik. Jadi keduanya memilih pergi dengan kata maaf yang selalu mereka ucapkan dalam hati.
"Gue pengin cari Vanya, Gas," kata Alvin setelah menutup pintu bangsal.
"Tapi kita harus cari dimana? Vanya pergi dari setengah jam yang selalu, pasti dia udah jauh dari sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVA : Rafael - Vanya ( SELESAI )
Ficção Adolescente(SUDAH SELESAI, MASIH LENGKAP, DAN BELUM DI REVISI) 🌼🌼🌼 Menjadi anak piatu bukan 'lah suatu hal yang diinginkan setiap orang. Kehilangan orang yang paling berarti dan dicintai adalah sebuah luka yang terkadang sulit dipercaya oleh Rafael Arsya Ra...