Venus

3.1K 189 14
                                    

Aku Vanessa Maharani Tanjung, gadis 18 tahun yang masih mencari jati diri. Aku baru saja tiba di Singapura, berdiri di depan terminal 3 bandara Changi seperti orang udik yang sedang tersesat. Hm, Singapura, ya? Aku nggak yakin dengan keputusanku bisa sampai di sini, but, here I am! Memantapkan hatiku untuk menyambut hari-hari ke depannya dengan penuh suka cita. I can do it. Ya, kata-kata legend itu terus kuulang sejak langkahku melewati pagar rumahku beberapa jam yang lalu.

 Ya, kata-kata legend itu terus kuulang sejak langkahku melewati pagar rumahku beberapa jam yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku merasa skeptis dengan tujuanku ke Negara ini. Yang Mama Papa tahu, putri bungsu mereka begitu mencintai seni, hingga bersikeras menempuh pendidikan ke luar Negeri. Nanyang Academy of Fine Arts, kampus itulah yang kugunakan sebagai kamuflase agar orangtuaku memberi izin kuliah di Singapura, karena sesungguhnya aku nggak benar-benar seambisius itu.

Walaupun Jakarta-Singapura hanya berjarak kurang dari 2 jam naik pesawat. Tetap saja, biaya pendidikan dan biaya hidup di Negara ini bisa berpuluh kali lipat lebih mahal dari Indonesia. Keluargaku nggak sekaya itu sampai mengiyakan permintaanku dengan mudah. Bahkan Mama sempat mendiamiku beberapa hari. Aku memiliki saudara laki-laki yang masih berada di tahun ke 3 perkuliahan, studi pendidikan dokter. Mungkin itulah alasan mengapa Mama sangat menentang keinginanku untuk kuliah di Singapura. Untungnya, aku punya Papa yang selalu berada dipihakku.

Jadi, mengapa aku begitu kukuh kuliah di Singapura padahal aku nggak seambisius itu? Jawabannya adalah pacarku. Well, sedikit memalukan untuk mengakui ini. Tapi begitulah kenyataannya. Aku nekat merantau ke luar Negeri karena nggak sanggup lagi menjalani hubungan jarak jauh dengan pacarku yang tampan. Sialan aku.

"Harlow? You at where ah?"

"...."

"Haiyah... you anyhow lah, sian..."

"...."

"Laugh what laugh! Talk cock lah..."

"...."

"Yea lah yea lah, I'm coming liao. Bye."

Aku gelagapan karena baru saja tertangkap basah memperhatikan seseorang sedemikian lekatnya. Ia seorang perempuan berusia 40-an. Wajahnya cantik sekaligus menyeramkan. Mungkin karena ia sedang memelototiku.

"Stare what stare? Sibeh siao." Ucapnya lalu meninggalkanku yang masih terpaku di tempat semula.

Sial. Apa semua orang Singapura segalak itu? Jika iya, tamat sudah riwayatku. Mentalku nggak sekuat itu ketika dihadapkan dengan manusia-manusia kelebihan hormon nonadrenalin.

Cuaca di Singapura hampir sama dengan Jakarta. Sama-sama panas. Walaupun udara di sini jauh lebih sehat karena nggak ada polusi. Mungkin ada, tapi nggak separah di Jakarta. Orang-orang yang kutemui juga hampir mirip dengan di Jakarta, hanya saja Singapura didominasi Chinesse, nggak seperti Jakarta yang masih didominasi pribumi. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Keraguan kembali menyeruak. Rasanya aku ingin berbalik pulang ke Jakarta. Aku takut memikirkan hari-hari kedepannya.

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang