Sebelum Janur Kuning

555 107 23
                                    

"Enak?"

"Bangeeet..." Sambut gadis didepanku riang, kemudian lanjut menyantap Hokkien noodlenya sampai habis.

"Duh, pelan-pelan Dek..."

Vanessa kontan menegang kala jempolku mendarat di sudut bibirnya. Aku mengulum bibirku kuat- menahan tawaku yang hendak meledak. Reaksi Vanessa sedikit berlebihan, ia tiba-tiba salah tingkah dengan bola mata yang mengedar ke segala arah.

"Kamu sengaja kan? Jangan bikin aku tambah sebel sama kamu, Sel." Sudah kuduga. Ia pasti mengomel sebagai kamuflase untuk menyembunyikan hatinya yang sedang huru-hara. Wajah merahnya terpampang jelas di depan mataku, namun ia malah mengelabuiku dengan alibi remehnya itu.

"Nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Mending abisin itu cendolnya. Kita pulang sekarang." Balasku.

"Kok pulang? Aku kan masih lapar..."

"Masih lapar gimana? Kamu mau nguras isi dompet Mas-mu sampe habis, iya?"

"Baru segini doang mana ada nguras dompet..."

Wait, apanya yang baru segini doang? Satu porsi kwetiaw, satu porsi Hokkien noodle, 15 tusuk sate domba, seporsi es cendol, di tambah beberapa cemilan yang kami beli dari mesin vending. Lalu gadis itu masih berkata 'segini doang?' Sial. Seharusnya Vanessa memiliki sedikit belas kasih pada dompetku yang malang. Kecuali kalo ia memang berniat mengerjaiku. Aku harus segera mengakhiri kegilaan Vanessa. Bukan sebab pengeluaranku yang membludak- i mean, lebih banyak dari biasanya. Tapi sebab Vanessa yang akan sulit tidur jika ia nggak mau berhenti. Lagi pula kemana ia menyimpan makanan-makanan itu? Aku yakin kalo lambung mungilnya nggak akan muat menampung semuanya.

Aku sangat menyesal membawa Vanessa ke Raffles Quay. Padahal Singapura memiliki banyak tempat makan yang buka 24 jam, termasuk di daerah Bugis- tempat kami tinggal. Tapi aku dengan sikapku yang sok keren itu malah mengajak Vanessa berkeliling kota lalu berhenti di sebuah spot kuliner terkenal. Sebenarnya apa yang sudah kulakukan? Apa aku berpikir kalo kami sedang kencan? Astaga. Jangan salahkan aku kalo setelah ini Vanessa akan sering kehilangan cemilannya.

"Wah... shiok!"

Setelah berdebat panjang lebar, akhirnya kami memutuskan untuk tetap berada di sini. Aku menyerah, Vanessa sangat sulit dibujuk jika berhubungan dengan makanan. Bukan aku, bukan juga Jonathan. Sepertinya hanya Tuhan yang mampu menghentikan gadis itu. Berdoa saja agar perut Vanessa melilit. Biar di kemudian hari ia nggak akan bertingkah seperti ini lagi. Kami terdampar di outlet nasi lemak dengan Vanessa yang kembali asik mengisi perutnya. Porsi makannya benar-benar menakutkan.

"Shiok, shiok, shiok." Ia berceloteh mengikuti gaya berbicara Harry dan Nina. Aku sangat ingin mengumpat tapi Vanessa terlalu menggemaskan. Mana tega aku berkata kasar pada makhluk lucu didepanku ini?

"Abis ini pulang ya Dek? Mas ngantuk." Ucapku lemah.

"Siapa suruh minum bir?"

"Satu kaleng doang, aman kok. Lagian masa cuma liatin kamu makan?"

"Beli yang lain kan bisa? Tuh, di situ ada sparkling water juga." Ia berkata seraya mengarahkan dagunya pada mesin vending.

"Nggak suka."

"Ck. Banyak maunya ni cowok. Giliran gratisan semua di embat."

"Ya iyalah... kayak kamu nggak aja. Nih buktinya, mentang-mentang gratis semua di makan."

"Makanya lain kali jangan sembarangan nyuri makanan orang..."

"Ya ya ya suit yourself." Pasrahku.

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang