Bukan Mantan

822 127 5
                                    

Midnight update 💚

.
.
.
.
.

"Jangan boros, mending masak sendiri aja biar lebih hemat. Kuliah yang bener, jangan pacaran terus, kamu harus ingat kalo Papa Mama kerja banting tulang biar kamu nggak kelaparan di Negara orang. Kamu di sana hidup sendiri, nggak ada yang ngawasin. Tapi bukan berarti kamu bebas ngelakuin ini itu. Kamu itu... bla bla bla..."

Kalimat panjang kali lebar itu masih terngiang-ngiang dikepalaku. 1 jam terbuang sia-sia karena sederet petuah klise yang disampaikan oleh Mama. Bukannya aku durhaka. Hanya saja Mama sudah melontarkan kalimat yang sama sejak seminggu yang lalu. Ayolah, belum 24 jam aku berada di Singapura dan aku juga tidak pernah mengalami kesulitan dalam mengingat sesuatu. Menyebalkan sekali.

Langit di luar sana mulai gelap. Aku berjalan ke arah jendela yang terbuka lalu memindai pemandangan di sekitar gedung yang kutinggali. Kerlap-kerlip lampu dari belasan atau bahkan puluhan toko yang berjejer di sepanjang jalan berhasil mengembalikan senyumanku. Mata bulatku berbinar-binar cerah. Aku selalu menyukai gradiasi warna karena mataku seakan mendapat asupan kala dihadapkan dengan pemandangan warna-warni.

Aku mungkin akan dianggap kampungan kalo bertingkah seperti ini di depan Nina atau Marcel. Tapi, hei! Tidak ada seorang pun di sini. Aku sedang sendirian di kamar dan aku bebas berekspresi semauku. Lagi pula siapa yang ingin kubohongi? Terbiasa memandangi landscape monokrom di balik jendela kamarku di Jakarta- lalu ketika mendapati pemandangan seperti sekarang, jelas membuat hatiku senang bukan kepalang.

"Nggak perlu mangap-mangap juga kali, Ca."

Shit. Seharusnya aku nggak lupa dengan eksistensi seorang laki-laki paling menyebalkan di muka bumi ini. Marcel Adhitya Pradipto. Mantan gebetanku dulu. Ya Tuhan, kalo diingat-ingat lagi masa itu, rasanya aku ingin muntah. Bisa-bisanya aku naksir pada laki-laki aneh seperti Marcel. Sudah pelit, turah pula. Aku melangkah mundur dan menutup rapat jendela didepanku. Marcel mungkin bisa tersinggung dengan sikapku tapi aku nggak peduli. Siapa dia sampai harus membuatku peduli?

Ponselku kembali berdering dan aku bersumpah nggak akan menjawabnya kalo itu dari Mama. Namun saat kuperiksa justru kontak pacarku tertera di sana. Bibirku seketika menarik segaris senyuman.

"Halo?" Sapaku lebih dulu.

"Udah makan?" Aku tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Jonathan memang sangat perhatian, bathinku berbicara.

"Belum lapar, Yang..."

"Makan dulu, ya? Atau perlu aku temenin? Makan sambil vc-an mungkin?"

Nathan berucap lembut dengan nada rendahnya. Astaga, aku nggak sekuat itu, Nat! Kalo Nathan sudah boyfriend materials mode on seperti ini, nggak ada yang bisa kulakukan selain mematuhi perintahnya. Jangankan hanya menghabiskan sebungkus nasi Padang, disuruh makan kembang pun akan kupatuhi dengan senang hati. Sialan aku. Well, aku nggak benar-benar makan malam dengan menu nasi Padang. Siang tadi Nathan sudah membelikan banyak makanan yang kusimpan di dalam kulkas. Aku sangat malas bertegur sapa dengan Marcel, sebab itulah ragaku enggan keluar dari kamar.

"Sayang?" Suara rendah Nathan kembali terdengar. Sepertinya aku terdiam cukup lama.

"O-oh? Iya. Nggak! Eh, maksud aku... okay aku makan sekarang, tapi nggak perlu vc-an. Nggak enak sama yang lain. Nanti aku dikatain sombong."

Balasanku diikuti kikikan geli Jonathan. Kalo soal mempermalukan diri sendiri, aku jagonya. Nggak habis pikir lagi dengan tingkahku, padahal kami sudah berpacaran selama 2 tahun lebih, tapi rasanya masih sama seperti awal-awal dulu. Well, aku terdengar seperti seorang fangirl yang berhasil mengencani idolanya.

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang