Orchard Road Alice

441 91 15
                                    

Tanganku sibuk mengumpulkan lembar per lembar uang kertas yang berserakan di lantai kamar. Aku sedikit kesulitan menghitung uang-uang itu karena jumlahnya yang sangat banyak. Meski kesulitan, wajah konyolku justru menjelaskan sebaliknya. Aku tersenyum sangat lebar hingga rasanya bibirku akan koyak sebentar lagi. Oh, ternyata aku nggak ada bedanya dengan gadis-gadis di luar sana. Aku selalu menyangkal tuduhan orang-orang yang mengataiku matre. Dan ya, aku bukan cewek matre.

Namun kejadian di lapangan berbanding terbalik dengan keyakinanku selama ini. Dihadapkan dengan setumpuk uang seperti sekarang, membuat jiwa matreku menggelepar-gelepar bak seekor udang yang di lempar ke daratan. Shit. Kalimat kiasan yang sangat menggelikan.

"220 lembar! Astaga astaga! 50 dollar di kali 220 sama dengan 11.000 dollar! Kalo dirupiahin jadinya... 110 juta!!"

Aku nggak terlalu pandai menghitung. Kecuali menghitung uang. Itu pun harus di bantu kalkulator karena jumlahnya melewati limit angka-angka di dalam otakku. Sialan aku.

"Marcel, lihat! Kita kaya..." Tingkah norakku sama sekali diabaikan oleh Marcel. Cowok itu hanya bungkam sembari menatap sendu keping-keping celengan kesayangannya.

Apa aku kasihan? Tentu saja tidak! Minggu lalu Marcel mengerjaiku sampai pingsan. Sebagai ganti rugi, ia bersedia menyerahkan celengan babinya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Aku senang bukan main. Meskipun hasilnya harus di bagi dua, namun tetap saja aku yang paling diuntungkan di sini.

"Kamu nggak ikhlas, ya?!" Suaraku sedikit meninggi. Marcel tergelenjat dalam posisi setengah berbaringnya. Ia turun dari tempat tidur lalu duduk disampingku.

"Bukan gitu... asal kamu senang, Mas ikhlas kok..." Sahutnya lemah.

Mata bulatku memicing curiga. Bau-baunya dia sedang membohongiku. Walau uangnya nggak akan kukembalikan lagi, tapi aku nggak suka berbahagia di atas penderiaan orang lain, okay?

"Yang bener? Tapi kok mukamu kayak nggak ikhlas gitu?"

"Enggak! Mas Ikhlas, sumpah! Demi kolor Shaun the sheepnya Harry."

"Bener ya? Kalo bohong dosa loh... lagian hilang satu nggak masalah kali... tuh masih ada 3." Ucapku seraya menunjuk sudut kamarnya. Marcel masih memiliki 3 celengan babi yang ia simpan di dalam lemari kecil di sudut kamar. Diam-diam aku sangat kagum pada bakat berhematnya itu.

"Iya, masih ada 3 lagi." Suaranya masih terdengar lemah ditelingaku.

"Kira-kira Nina sukanya apa ya...?"

Omong-omong aku bersikeras mengakuisisi celengan Marcel karena ingin membeli kado ulang tahun Nina. Kalo mengandalkan uang sakuku, aku ragu Nina akan menyukai hadiah yang kuberikan. Gadis itu akan mengadakan party di club malam. Tentu saja aku di undang. Tapi sebelumnya aku nggak terlalu percaya diri untuk datang ke sana. Aku nggak punya cukup uang untuk memberinya kado mewah. Pun aku nggak punya dress yang pantas untuk kukenakan di sebuah pesta.

"Nina sih suka apa aja, yang penting branded. Tas, baju, sepatu, topi, kacamata, terserah. Kamu kasih kancut merk Victoria Secret juga nggak masalah." Sahut Marcel.

Kalo diingat-ingat lagi, Nina orangnya memang nggak ribet. Benar kata Marcel. Asalkan barang branded Nina pasti suka. Satu lagi, Nina itu cewek Mamba. Hampir semua barang-barangnya berwarna gelap.

"Iya juga sih... tapi duitnya cukup nggak ya? Kalo nggak cukup, kita patungan aja gimana?"

"Segitu kamu bilang nggak cukup? Kamu mau beli kebun sawit atau apa?"

"Tapi aku juga mau beli baju... masa ke club pake dress biasa? Kan nggak nyambung..." Rengekku.

"Kenapa emangnya? Jangan bilang kamu mau ngumbar-ngumbar badan. Nggak! Nggak boleh!"

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang