Decision

608 95 25
                                    

"Makan pelan-pelan..."

Menatap Vanessa saat ini praktis membuat hatiku sakit. Gadis itu bertingkah seperti seseorang yang tidak di beri makan berhari-hari. Tangan rapuhnya bergetar sekedar mengangkat sendok yang tidak seberapa berat. Napasnya tersengal, matanya berembun sebab rasa haru yang sedang ia tahan.

Vanessa... Bagaimana aku harus menggambarkan situasi gadis itu? Vanessa yang hidup sebatang kara? Atau Vanessa yang dicampakkan keluarganya?

"Mas... Caca mau lagi..." Cicitan Vanessa sontak membuyarkan pikiran.

"Oh, makan punya Mas aja..." Tawarku lalu mengangsurkan kotak styrofoam ke hadapan Vanessa.

"Mas nggak makan?"

Mas

Mas

Mas

Ya Tuhan, telingaku seperti di hembus angin surga setiap kali Vanessa melontarkan kata mujarab itu.

"Mas udah makan, Dek..."

"Iya juga sih... Udah mau tengah malam soalnya." Sahut gadis itu.

Vanessa kembali fokus dengan makanannya. Bertingkah rakus sama sekali nggak mengurangi kecantikan Vanessa. Dia masih menawan seperti biasanya. Konon katanya cinta itu buta.

"Kenapa?" Tanya Vanessa tiba-tiba.

Oh, agaknya aku tertangkap basah. Salahkan wajahku yang nggak bisa menyembunyikan perasaan yang sedang mendera. Sialan aku.

"Mas senang banget liat kamu lagi..."

Well, aku nggak bermaksud menggombali Vanessa. Namun respon malu-malu gadis itu entah kenapa membuat hatiku puas. Bak seseorang yang memenangkan lotre. Tentu saja aku senang karena selama ini Vanessa hanya bertingkah demikian saat bersama Jonathan, benar?

"Perasaan baru beberapa hari..." Vanessa membalas lirih. Pandangan matanya masih tertuju pada makanan.

"Tapi rasanya lama banget, Dek... Mas udah biasa hidup sama kamu. Liat wajah cantik kamu dari pagi sampe pagi lagi."

Apa-apaan itu?! Dari sekian banyak jawaban yang bisa kulontarkan, kenapa harus mengucap kalimat picisan yang super menggelikan? Sial.

"Caca nggak bisa ikut Mas ke Singapura..."

Pengakuan Vanessa terdengar menyakitkan. Bukan untukku tapi untuk dirinya sendiri.

"Kata siapa?" Aku menyahut santai.

Wajah Vanessa sedikit terangkat, sekedar mempertemukan manikku dan maniknya yang sayu.

"Caca nggak punya siapa-siapa lagi..."

"Loh? Memangnya Mas bukan siapa-siapa kamu?"

"Bukan gitu... Maksud Caca--"

"Mas ngerti." Aku menyela lebih dulu.

"Tapi Mas nggak akan ninggalin kamu di sini sendiri. Kalo Mas harus balik ke Singapura, kamu juga harus ikut." Lanjutku akhirnya.

"Terus NAFA open housenya gimana?"

"Nggak gimana-gimana..."

"Mas Marcel..."

"Dalem, sayang..."

"Ck."

Membuat Vanessa tersipu akan menjadi hobiku mulai sekarang. Vanessa dan pipinya yang bersemu memang sayang untuk dilewatkan. Aku terkikik geli menyaksikan makhluk lucu didepanku. Ingin rasanya kulumat habis bibir ranumnya itu. Eh?

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang