Not Priority

607 94 11
                                    

Rasanya sudah sangat lama aku dan Nathan nggak pergi berkencan. Pacar tampanku itu tengah disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Seminggu lalu ia pulang ke Jakarta selama beberapa hari, sehingga mengacaukan jadwal harian yang sudah tersusun sedemikian rapi. Projek lama di kejar deadline, sementara projek baru sedang berjalan di depan mata. Aku sangat merindukan Nathan. Kami belum bertemu sejak terakhir kali ia pamit pulang ke Jakarta. Bertukar pesan pun jarang. Pernah aku mengiriminya pesan di malam hari, namun baru mendapat balasan di malam berikutnya.

Jika seperti itu, bagaimana mungkin aku nggak merindukan Nathan? Aku hampir gila. Tapi untungnya hal itu sudah lewat. Pagi tadi Nathan menghubungiku sekedar memberitahu kalo ia akan datang menjemputku. Mungkin kami akan makan malam romantis lalu menghabiskan sisa hari dengan saling berbagi pelukan. Aku terkikik senang membayangkan hangat tubuh Jonathan menyelimuti tubuhku yang haus akan belaian. Nathan harus tahu betapa aku sangat merindukan sentuhan nakalnya. Sialan aku.

"Vanessa, your boyfie is here..." Nina setengah berteriak mengumumkan informasi itu.

Shit. Aku harus bergegas menemui Nathan sebelum didahului Marcel. Tetangga sintingku itu bisa saja membongkar kelakuan sesatku seminggu yang lalu. Nathan melarangku mabuk-mabukan di pesta Nina, namun aku sama sekali melanggarnya. Hanya Marcel yang tahu kejadian malam itu karena dialah yang menyeretku pulang ke flat. Masih terngiang dikepalaku saat keesokan harinya aku terbangun dalam kondisi mengenaskan. Baju mahalku terkena muntahan, rambut cetarku acak-acakan seperti gelandangan. Bahkan Marcel pun enggan berdekatan denganku.

"Nathan!"

Jonathan tersenyum tampan sambil merentangkan kedua tangannya. Aku tanpa ragu melompat naik ke tubuhnya lalu melingkarkan kedua kakiku dipinggangnya yang kokoh. Meskipun gurat kelelahan masih sangat kentara di wajah rupawan pacarku itu, namun bibir seksinya nggak berhenti menampilkan segaris senyuman. Oh, aku sangat menggilai laki-laki yang satu ini. Figurnya seperti patung Dewa Yunani yang di pahat dengan super teliti. Aku nggak bisa mengalihkan tatapanku dari manik kelamnya yang sangat menggoda.

"Kangen banget sama kamu."

Pengakuan seduktifnya adalah segalanya bagiku. Aku hendak membalas kalimat Nathan namun bibirku lebih dulu dibungkam dengan bibirnya. Nathan mengulum habis bibirku seperti harimau kelaparan, dan perbuatannya itu kontan meluruhkan sisa-sisa pertahananku. Tubuhku semakin menempel dengannya, tanganku menari-nari dirambutnya yang lebat. Demi Tuhan, kami masih berada di ruang tamu tapi Nathan nggak peduli dengan kenyataan itu. Kedua tangan Nathan bergerak liar dibongkahan sintalku. Dan aku nggak bisa menahan diri untuk melenguh nikmat di sela-sela lumatan kami. Sial.

"Kita pergi sekarang?" Wajahku sudah memerah sempurna. Alih-alih membalas pertanyaan Nathan, aku justru menjatuhkan kecupan-kecupan ringan di leher jenjang pacarku itu. Nathan sangat panas, dan aku dibuat terbakar olehnya.

"Sayang?" Ia kembali bersuara.

"Kamu diam dulu, ihh... aku masih pengen..." Sahutku nggak tahu malu.

Nathan terkekeh merdu. Respon pasifnya semakin membuatku menggila. Terserah kalo Nathan menganggapku jalang. I don't even care about it. Aku bergerak liar mencari sesuatu yang sangat kurindukan. Batang kekar Jonathan tentu saja. Sialan aku.

Tapi tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Marcel pernah memohon agar aku nggak bermesraan didepannya. Dan aku lagi-lagi bersikap acuh pada cowok itu. Aku harap Marcel nggak melihat perbuatan mesumku. Meski pintu kamarnya tertutup rapat, namun nggak bisa kupastikan kalo ia nggak keluar dari sana sekedar mengintip kegiatanku dan Jonathan. Marcel sangat membenci Jonathan. Ia selalu mencari kesempatan untuk bisa berdebat dengan Jonathan. Lantas ketika ia hanya berdiam diri di dalam kamar seperti sekarang, membuat hati kecilku sedikit nggak tenang. Apa marcel baik-baik saja?

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang