Villain

615 98 18
                                    

"Cari siapa, Mas?"

Sosok asing didepanku menatapku bingung. Nada bicaranya sama sekali nggak terdengar ramah, mungkin karena aku nekat bertamu di waktu-waktu krusial.

"Vanessa ada?" Balasku.

Pertanyaanku nggak bersambut. Wanita itu justru memberiku kilatan kesal— memindai tubuhku dari ujung kaki sampai ujung kepala, seakan aku adalah seorang kriminal yang patut diwaspadai.

"Vanessa ada?" Aku kembali mengulang pertanyaan yang sama.

"Mas siapanya Mbak Vanessa?"

"Vanessa ada?"

Aku nggak ingin membuat keributan di rumah orang, pun hari sudah malam. Tapi wanita didepanku benar-benar nggak bisa di ajak kerja sama. Aku nggak tahu apa posisinya di rumah ini, dari gerak-geriknya, dia hanya asisten rumah tangga yang nampaknya cukup dekat dengan tuan rumah.

"Mbak Vanessa—"

"Siapa, Tri?"

Sosok lain yang selama ini kuyakini sebagai Oma Vanessa tiba-tiba muncul. Oh, lihatlah kening berkerutnya itu. Agaknya dia mengingatku. Kami pernah beradu tatap di hari pemakaman Papa Vanessa. Dan kala itu aku sangat lantang memperkenalkan diri sebagai pacar Vanessa. Tentu saja dia mengingatku, bukan?

"Ngapain kamu?"

Apa semua orang di rumah ini selalu berbicara ketus? Kalo benar aku nggak bisa membayangkan betapa tertekannya Vanessa. Vanessa memiliki gangguan kecemasan sosial. Dia terbiasa hidup menepi dan menggantungkan diri pada orang lain. Sebelumnya ada Om Andrew dan Jonathan yang bisa dijadikan tempat bersandar, tapi sekarang? Vanessa sendirian. Hatiku sangat sakit memikirkan Vanessa menangis seorang diri di sudut kamarnya.

"Saya mau ketemu Vanessa." Persetan dengan sopan santun.

"Kamu tidak lihat jam berapa sekarang?!"

Oma Vanessa memberiku tatapan tajam. Kipas tangannya mengacung di depan wajahku. Kepalaku reflek mundur ke belakang kala ujung kipas itu hampir menusuk bola mataku. Sial. Bagaimana bisa aku meninggalkan Vanessa di rumah ini?

"Maaf, saya memang salah, tapi tolong, saya harus ketemu Vanessa." Aku nggak akan mundur sebelum berhasil membawa Vanessa pergi.

"Nggak ada yang namanya Vanessa di rumah ini!?"

Apa-apaan!

"Nyonya, saya—"

"Ibu, ada apa— Marcel?"

Syukurlah. Setidaknya Mama Vanessa nggak lebih buruk dari wanita tua yang nggak ada ubahnya dengan Mak Lampir. Aku tersenyum ramah lalu berjalan ke depan dan menyalami Mama Vanessa. Salamku memang bersambut, tapi aku nggak bodoh untuk menafsirkan senyum terpaksa di wajah Mama Vanessa.

"Maaf kalo saya sudah lancang. Saya cuma mau ketemu Vanessa." Aku segera menjelaskan maksud kedatanganku.

Entah hanya perasaanku saja, Mama Vanessa terlihat gugup. Dia susah payah menelan ludah, pun bola matanya bergerak gelisah. Dan hal itu sukses memunculkan tanda tanya besar, sebenarnya apa yang sudah mereka lakukan pada Vanessa?

"Ayo masuk dulu..."

"Dian!"

Mama Vanessa maju selangkah lalu berbisik di telinga yang lebih tua. Bisa kulihat air muka Oma Vanessa nggak segelak sebelumnya, bahkan terbilang cukup ramah. Wanita tua berwajah bengis tadi benar-benar sudah hilang dan digantikan dengan wanita tua berwajah ramah. Sial.

Aku di tuntun masuk ke dalam rumah dan dipersilakan duduk di kursi ruang tamu. Wanita yang menyambutku pertama kali sudah pergi setelah Mama Vanessa memintanya membawakan cemilan dan minuman. Sekarang hanya ada aku, Mama Vanessa, dan Oma Vanessa yang terus tersenyum menggelikan.

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang