Bad News

535 95 8
                                    

Mars 🍉

"Mau ke mana, Mas?"

Mama berjalan menaiki tangga sambil menatapku curiga. 3 hari terakhir aku hanya wara-wiri di dalam rumah, jadi nggak heran kalo Mama merasa aneh saat melihat tampilanku yang jauh lebih rapi dari biasanya. Aku menutup pintu kamar perlahan, karena Mama pasti akan mengamuk jika aku menutupnya dengan kasar.

"Mau pergi main." Jawabku akhirnya.

"Tumben?"

"Besok harus balik Singapura, Ma..."

Aku merangkul bahu sempit Mama, lalu kami melangkah bersama menuruni anak tangga. Mama berniat memanggilku untuk makan malam, omong-omong. Aku nggak perlu mengkonfirmasi hal itu lagi karena semua kebiasaan Mama sudah kuingat di luar kepala.

"Nggak bisa lusa aja?" Tanya Mama.

"Susah, Ma... Mas harus latihan, makanya nggak bisa cuti lama. Eventnya udah dekat, jadi nggak boleh terlalu sering bolos latihan."

"Orang luar bisa nonton nggak?"

Erangan sebalku terdengar setelahnya. Mama terkikik geli mendapati responku yang terang-terangan menolak idenya. Aku nggak bermaksud menjadi anak durhaka, hanya saja Mama sangat heboh tiap kali berada di sebuah pertunjukan dengan aku atau Marsha sebagai pengisi acara. Kenangan memalukan di malam pensi sekolah masih bisa kuingat dengan jelas. Aku sampai bertengkar dengan teman-temanku karena mereka terus mengejek kelakuan norak Mama.

"Muka Mas Marcel kenapa?"

"Biasa, Dek. Mau keluar duit..."

Oh, harusnya aku nggak pulang ke rumah ini. Aku punya apartemen pribadi yang kubeli dari hasil menabung sejak sekolah dasar. Di rumah ini aku hanya menjadi bulan-bulanan Mama dan Marsha. Dan Papa... lelaki tua itu nggak pernah berada dipihakku. Lihat, bahkan dia ikut tertawa bersama istri dan putrinya.

"Makan, Sel. Kesal juga butuh tenaga..." Ujar Papa.

"Men support men dong, Pa... Papa gimana, sih?" Marsha angkat suara lagi.

"Udah, anakku jangan digangguin terus. Lagi galau dia..." Mama yang mulai Mama juga yang sok-sokan membelaku. Mau heran juga percuma.

"Anak muda jaman sekarang dikit-dikit galau. Harusnya kamu bersyukur bisa tidur nyanyak tanpa mikirin mati di tangan orang-orang PKI."

Tawa nyaring Marsha sontak meledak dan menghancurkan keheningan di sekitar. Papa dan ucapan melanturnya selalu berhasil membangkitkan suasana. Papa bukan orang yang humoris, setiap perkataannya selalu mengandung makna. Tapi terkadang nggak bisa diterima oleh nalar. Seperti kalimatnya barusan, kenapa dia harus membandingkan masa sekarang dan masa orde lama?

"Kayak Papa pernah ngalamin aja..." Balasku akhirnya.

Aku memang lahir dan besar di Surabaya, tapi moyangku berasal dari daratan China. Kakek Haryo dulunya tinggal di Guangzhou sampai umur 6 tahun. Beliau terpaksa pindah ke Indonesia karena kala itu negara China mengalami krisis moneter berkepanjangan akibat perang dunia dan pengaruh revolusi industri di Inggris.

Sebelum menetap di Surabaya, Kakek Haryo dan kedua orangtuanya lebih dulu membangun kerajaan bisnis di Bali. Awalnya hanya bisnis kuliner, lalu merambat ke bisnis furniture, tekstil, retail, perhotelan, rumah sakit, hingga bisnis-bisnis yang lain.

"Asal kamu tau, Papa sudah hidup waktu itu... walaupun nggak ngalamin langsung."

"Sama aja dong, Pa..."

"Beda, Dek... Papa juga ikut ngerasain dukanya..." Papa menyanggah kalimat Marsha.

"Marsha sama Mas Marcel juga ngerasain kok... ya kan, Mas?" Aku bergumam kecil— terlalu malas untuk angkat suara.

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang