From Zero to Hero

528 95 14
                                    

Pukul 08.12 waktu setempat. Aku terbangun lebih awal dari biasanya. Kulihat Vanessa masih terlelap dalam tidurnya, dia pasti kelelahan karena menangisi bajingan Jonathan semalaman. Wajah Vanessa tampak lebih cerah, nggak sepucat tadi malam. Aku lega tentu saja. Setidaknya aku nggak perlu khawatir berlebihan saat meninggalkan Vanessa sendirian di flat.

Hari ini Harry dan Nina akan kembali dari Kuala Lumpur. Jadwal kami sedikit padat menjelang event tahunan kampus- NAFA Open House. Berada di tahun kedua perkuliahan membuat kami nggak sebebas tahun sebelumnya. Bahkan Lukman beberapa kali mengeluh karena waktu bersantainya banyak yang tersita dan di ganti dengan jadwal latihan.

Aku membuka satu per satu lemari kabinet dapur. Berharap menemukan harta karun yang bisa menyelamatkan pagiku dan Vanessa. Hanya ada sebungkus mie instan dan 2 butir telur ayam.

"Bikin martabak telor aja kali ya?" Gumamku.

Well, berkat Vanessa, keahlianku dalam memasak sedikit-banyak mengalami peningkatan. Aku mulai terbiasa dengan dapur dan segala tetek-bengeknya. Menakar air di rice cooker bukan sesuatu yang wah lagi untukku. Thanks to my Vanessa.

"Wait, my honey udah boleh makan beginian kan? Gosh, aku nggak bisa masak bubur..." Aku berceloteh seorang diri.

"Gas aja lah, yang penting perut my honey ada isinya biar nggak masuk angin."

My honey, my honey, your ass! Vanessa pasti berucap demikian kalo dia mendengar ucapanku barusan. Terkadang aku sama sekali nggak peduli dengan status hubungan kami yang masih menggantung. Sejak awal Vanessa adalah milikku, dan aku selalu mempercayai hal itu.

Di tengah-tengah kegiatanku, seruan Vanessa tiba-tiba menembus dinding kamar lalu masuk ke kupingku yang lebar. Aku sontak mematikan kompor dan berlari menemui gadis itu.

"Kenapa, Dek?" Tanyaku. Aku berdiri nggak jauh dari tempat tidur Vanessa.

"Pusing banget..." Vanessa sudah memakai baju, omong-omong. Aku sendiri yang memakaikannya. Kami benar-benar terlihat seperti pasangan suami istri, bukan?

"Sini..." Aku membantu Vanessa bangun dari posisi berbaringnya. Menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, lalu menarik selimutnya sampai dada.

"Mas lagi bikin sarapan. Martabak telor sama nasi putih biasa. Kamu nggak masalah, kan?"

"Udang yang di kulkas masih ada nggak? Caca mau itu..."

"Masih kayaknya, nanti sekalian Mas gorengin buat kamu. ada yang lain?"

Vanessa tampak berpikir keras. Wajah bingungnya itu entah mengapa selalu berhasil membuatku terpesona? Kalo saja Vanessa sudah sembuh, aku nggak akan ragu untuk menyerangnya. Sekedar menghujaminya dengan shower kiss yang manis.

"Hmm... mau teh manis..." Sahutnya kemudian.

"Okay, tunggu 5 menit. Nggak boleh ngapa-ngapain dulu. Liat ponsel juga jangan, nanti makin pusing." Aku memperingati Vanessa. Padahal itu hanya akal-akalanku saja. Aku nggak mau Vanessa mendapati puluhan panggilan tidak terjawab dari Jonathan. Sialan aku.

Jonathan sangat tebal muka. Dia masih berani menghubungi Vanessa setelah kejadian nggak terduga kemarin sore. Memangnya apa lagi yang bisa dia harapkan? Berlutut di hadapan Vanessa dan memohon untuk kembali bersama? Betapa klisenya...

"Marcel tehnya jangan terlalu panas!" Vanessa agak berteriak karena aku sudah berlalu dari kamarnya.

"Sesuai permintaan, sayangku." Balasku seduktif.

Sial. Aku benar-benar menjelma menjadi pujangga cinta. Perayu ulung nomor satu Vanessa. Pun demikian, aku sama sekali nggak menyesal karena sudah bertingkah semenjijikkan itu. Vanessa adalah gadis yang kucintai, wajar saja jika aku bersikap manis kepadanya, benar?

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang